FIQIH SHOUM
A. Definisi Shaum
a.
Secara bahasa,
shaum artinya menahan diri dari sesuatu.
b.
Secara syar’i,
shaum adalah menahan diri dari hal-hal yang membatalkannya, seperti makan,
minum dan melakukan hubungan suami isteri, dengan disertai niat, mulai
terbitnya fajar shadiq sampai terbenamnya matahari.[1]
B. Dalil Disyari’atkannya Shaum Ramadhan
Firman Allah :
يَاأَيُّهَا
الَّذِينَ ءَامَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ
مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ. أَيَّامًا مَّعْدُودَات
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan
atas kamu shiyam sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu
bertaqwa. ( yaitu ) dalam beberapa hari yang tertentu,”
[2]
شَهْرُ
رَمَضَانَ الَّذِي أُنزِلَ فِيهِ الْقُرْءَانُ هُدًى لِّلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ
الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ فَمَن شَهِدَ مِنكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
“(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah)
bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Qur’an sebagai
petunjuk bagi manusia dan penjelasan- penjelasan mengenai petunjuk itu dan
pembeda (antara yang hak dan yang batil). Karena itu barangsiapa diantara kamu
hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia
melaksanakan shaum pada bulan itu… “[3]
Sabda Rasulullah :
بُنِيَ الإِسْلاَمُ
عَلَى خَمْسٍ: شَهَادَةِ أَنْ لاَّ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَ أَنَّ مُحَمَّدًا
رَسُوْلُ اللهِ وَإِقَامِ الصَّلاَةِ وَإِيْتَاءَ الزَّكَاةِ وَالْحَجِّ وَصَوْمِ
رَمَضَانَ.
“Islam dibangun di atas lima
perkara: “Bersaksi bahwasannya tiada ilah kecuali Allah dan Muhammad utusan
Allah, menegakkan shalat, menunaikan zakat, berhaji ke baitullah, dan shaum
Ramadhan.”[4]
Dari
Thalhah bin Ubaidillah RA, ia berkata, “Bahwasannya ada seorang laki-laki dari
negeri Najd yang datang kepada Nabi seraya bertanya tentang islam. Maka Nabi SAW
menjawab, “Lima kali shalat sehari semalam.” Orang itu bertanya lagi, “Apakah
ada yang lain ?” Nabi SAW menjawab, “Tidak, kecuali jika engkau mau melakukan
yang sunnah.” Nabi SAW bersabda, “( Lalu ) shiyam di bulan ramadhan.”
Orang itu bertanya lagi, “Apakah ada yang lainnya ?”Beliau menjawab, “Tidak
kecuali jika engkau mau melakukan yang sunnah.” Kemudian Rasulullah SAW menyebut
zakat, lalu orang itu bertanya lagi, “Apakah ada yang lainnya ?“ Nabi SAW menjawab, “Tidak, kecuali jika engkau mau
melakukan yang sunnah.” Lalu orang itu membalikkan tubuhnya seraya berkata,
“Demi Allah, aku tidak akan menambah dan tidak akan mengurangi.” Kemudian
Nabi SAW bersabda,“Orang itu akan beruntung jika dia benar.”[5]
C. Penetapan Awal Dan Akhir Ramadhan
1. Awal
dan akhir bulan Ramadhan ditetapkan dengan ru’yah hilal (melihat bulan
sabit), yaitu minimal dengan kesaksian paling sedikit satu orang muslim yang
adil untuk awal Ramadhan, dan dua orang muslim untuk awal Syawal.[6]
2. Apabila
cuaca mendung dan hilal bulan Ramadhan tidak dapat dilihat pada malam 30
Sya’ban, maka hukum yang harus diambil ialah dengan menggenapkan bilangan bulan
Sya’ban menjadi 30 hari, kemudian dipastikan untuk shaum pada hari berikutnya,
yaitu awal bulan Ramadhan.
3. Begitu
pula ketika hilal bulan Syawal tidak terlihat, maka hukum yang harus diambil
ialah dengan menyempurnakan bilangan Ramadhan menjadi 30 hari, kemudian hari
berikutnya dipastikan sebagai hari raya, yaitu sebagai awal bulan Syawal.[7]
Rasulullah SAW bersabda :
لاَ تَصُوْمُوا
حَتَّى تَرَوْا الِهلاَلَ وَلاَ تُفْطِرُوا حَتَّى تَرَوْهُ فَإِنْ غُمَّ
عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوْلَهُ.
“Janganlah klian melakukan shaum sampai kalian melihat hilal,
dan jangan pula berbuka (mengakhiri shaum Ramadhan) sampai kalian melihatnya.
Dan jika ada yang menghalangi sehingga bulan tidak kelihatan oleh kalian,
sempurnakanlah bilangannya (menjadi 30 hari)”.[8]
الشَّهْرُ تِسْعَ وَ
عِشْرُوْنَ لَيْلَةً فَلاَ تَصُوْمُوا حَتَّى تَرَوْهُ فَإِنْ غَمَّ عَلَيْكُمْ
فَأَكْمِلُوْا العِدَّةَ ثَلاَثِيْنَ.
“Satu bulan itu jumlahnya 29 malam, maka janganlah kamu
melakukan shaum sampai kalian melihatnya
(hilal). Dan jika ada yang menghalangi sehingga bulan tidak kelihatan oleh
kalian, sempurnakanlah bilangannya menjadi 30 hari.”[9]
4.
Adapun
menetapkan awal Ramadhan dengan ilmu hisab di saat langit mendung, maka
pendapat ini banyak dibantah oleh para ulama’. Para fuqaha’ telah menegaskan tentang
dilarangnya bersandar pada perhitungan-perhitungan ilmu falak dalam menetapkan
hilal, karena sesungguhnya syari’at Islam ini mengaitkan shaum dengan ru’yah
bukan dengan hisab.[10]
Jumhur fuqaha’
mengatakan, “Dan tidak betul jika yang dimaksud adalah hisab ahli
perbintangan, sebab jika orang banyak dibebani dengan hal tersebut, tentulah
akan memberatkan mereka, sebab masalah hisab perbintangan tidak ada yang
mengetahuinya kecuali hanya beberapa orang saja, sedang syari’at dapat dipahami
orang apabila kebanyakan mereka mengetahuinya. Wallahu a’lam.”[11]
Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyyah berkata, “Berdasarkan As-Sunnah Ash-Shahihah serta kesepakatan
para shahabat Radhiyallahu ‘anhum, tidak diragukan bahwasannya tidak
boleh bersandar kepada hisab perbintangan”.[12]
Rasulullah
bersabda :
إِنَّا أُمَّةٌ أُمِيّةٌ
لاَ نَكْتُبُ وَلاَ نَحْسَبُ، الشَّهْرُ هَكَذَا وَهَكَذَا : يَعْنِي مَرَّةً
تِسْعَةً وَعِشْرِيْنَ وَمَرَّةً ثَلاَثِيْنَ.
“Sesungguhnya
kami adalah umat yang ummi, tidak menulis dan tidak melakukan hisab. Bulan itu
begini dan begini, yang terkadang 29 hari dan terkadang 30 hari.”[13]
لاَتَقَدَّمُوا
الشَّهْرَ حَتَّى تَرَوُ الْهِلاَلَ قَبْلَهُ أَوْ تُكْمِلُوا الْعِدَّةَ، ثُمَّ
صُوْمُوا حَتَّى تَرَوُ الْهِلاَلَ أَوْتُكْمِلُوا الْعِدَّةُ قَبْلَهٌ.
“Janganlah
kalian mendahului bulan sebelum kalian melihat hilal, atau sampai
menyempurnakan bilangannya. Kemudian
laksanakanlah shaum sampai kalian lihat hilal, atau menyempurnakan bilangan
bulan sebelumnya.”[14]
Dan Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyyah juga mengatakan, “Orang yang bersandar kepada hisab
dalam masalah hilal, sebagaimana bahwasa ia telah sesat di dalam syari’at,
berlaku bid’ah di dalam dien, maka dia juga keliru terhadap akal dan ilmu
hisab.”[15]
Bagaimana
halnya dengan kelompok yang menetapkan awal Ramadhan dan Syawal dengan hisab
sementara langit cerah tanpa sepotong awanpun. Bahkan beberapa bulan sebelumnya
mereka telah berani menetapkan awal bulan Ramadhan dengan menggunakan ilmu
hisab, cara yang tidak pernah dipergunakan oleh Rasulullah SAW, para shahabat,
tabi’in dan tabi’ut tabi’in.
D. Penetapan Shaum Ramadhan Berdasarkan Tempat Terbitnya Hilal
Madzhab
Syafi’i mengatakan, “Apabila hilal terlihat di suatu negeri sedangkan
orang-orang di negeri lain tidak melihatnya, maka yang diputuskan adalah perkara
berikut ini. Kalau kedua negeri itu berdekatan, maka hukumnya sama dengan satu
negeri, dan penduduk negeri tersebut diwajibkan untuk melakukan shaum. Tetapi
kalau negeri tersebut berjauhan, maka ada dua pendapat, yang paling shahih menyatakan
bahwa shaum tidak diwajibkan atas penduduk negeri yang lain.[16]
Kuraib (hamba
sahaya dari shahabat Ibnu Abbas RA) meriwayatkan, Bahwasannya Ummu Fadhl binti
Al-Haris (ibunya Ibnu ‘Abbas RA) mengutus dia untuk menemui Khalifah Mu’awiyah
RA di Syam. Maka Kuraib berkata, “Kemudian aku datang ke Syam untuk
menyelesaikan segala keperluan Ummu Fadhl RA, dan terjadilah hilal Ramadhan, di
Syam aku melihatnya pada malam Jum’at. Kemudian aku kembali ke Madinah pada
akhir bulan Ramadhan, maka Abdullah bin ‘Abbas RA menanyakanku dan membicarakan
masalah hilal, “Kapan kalian melihat hilal?” Maka aku katakan, “Kami melihat
hilal malam Jum’at”, kemudian ia
bertanya, “Engkau melihatnya sendiri?” "Ya, dan semua orang melihatnya,
mereka melaksanakan shaum, begitu juga Mu’awiyah RA.” Abdullah bin ‘Abbas RA berkata,
“Tetapi kami melihatnya malam Sabtu, maka kami akan tetap shaum hingga kami
menyempurnakannya menjadi 30 hari, atau sampai kami melihat hilal Syawal”. Aku
bertanya, “Apakah tidak cukup dengan ru’yah dan shaum Khalifah Mu’awiyah RA?” Beliau
menjawab, “Tidak, beginilah Rasulullah menyuruh kami.”[17]
Menurut
madzhab Maliki, hadits di atas merupakan hujjah bahwasannya apabila suatu
negeri saling berjauhan sebagaimana Syam dan Hijaz, maka setiap penduduk dari
masing-masing negeri tersebut wajib melaksanakan hasil ru’yah negerinya bukan
ru’yah negeri orang lain, walaupun ru'yah telah menjadi keputusan Khalifah,
selama Khalifah tidak mewajibkan kepada rakyatnya. Apabila dia mewajibkannya,
maka siapapun tidak boleh menyelisihi perintahnya.”[18]
E. Syarat Wajib / Sah Shaum[19]
1. Islam.
Apabila ada orang kafir yang masuk Islam di
pertengahan Ramadhan, maka dia tidak wajib mengqadha’ shaum yang telah berlalu,
karena shaum pada hari-hari yang lalu belum menjadi kewajibannya, sehingga
tidak wajib mengqadha’nya. Demikian menurut madzhab Hambali, Syafi’i, Hanafi,
Maliki, Al-Auza’i, Abu Tsaur dan Qatadah. Dia cukup melaksanakan shaum pada
hari-hari selanjutnya setelah ia memeluk Islam.[20]
2. Baligh.
Jika
anak kecil (laki-laki atau perempuan) telah mampu melaksanakan shaum, maka
seorang wali berkewajiban untuk menyuruh mereka melaksanakan shaum yaitu bila mereka
telah mencapai usia 7 tahun, dan memukulnya apabila meninggalkan shaum ketika
telah berusia 10 tahun.[21]
3. Berakal.
Shaum
Ramadhan tidak diwajibkan atas orang gila. Dan jika telah sembuh, dia cukup shaum
pada hari-hari yang masih tersisa di bulan Ramadhan, dan tidak wajib mengqadha’
shaum yang ditinggalkannya di saat dia gila. Demikian pendapat Abu Tsaur, As-Syafi’i,
dan Imam Ahmad.[22]
Berbeda
dengan orang yang kehilangan akalnya karena pingsan kemudian dia siuman, maka dia
wajib mengqadha’ shaum yang telah dia tinggalkan, karena pingsan termasuk salah
satu penyakit, bukan gila.[23]
4. Mukim
(tidak dalam keadaan safar).
5.
Sanggup untuk
melaksanakannya, di antaranya, sehat jasmani.
6.
Suci dari haidh
dan nifas.
Menurut ijma’ (kesepakatan) ulama, wanita yang
sedang haidh dan nifas tidak diperbolehkan untuk melaksanakan shaum. Mereka
wajib berbuka dan mengqadha’ shaum yang telah ditinggalkannya, jika telah suci
dari haidh atau nifasnya.
Jika haidh dan nifasnya terjadi pada sebagian siang, maka
shaum pada hari itu batal, baik haidh atau nifasnya itu terjadi di awal atau
akhir siang. Jika wanita yang sedang haidh atau nifas berniat shaum dan menahan
diri dari hal-hal yang membatalkan shaum, padahal dia mengetahui bahwa shaum diharamkan
untuknya, maka dia berdosa dan shaumnya tersebut tidak sah.[24]
Ummul Mukminin ‘Aisyah RA berkata:
كُنَّا نُؤْمَرُ
بِقَضَاءِ الصَّوْمِ وَلاَ نُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّلاَةِ.
"Kami diperintahkan untuk mengqadha’ shaum
dan tidak diperintahkan untuk mengqadha’ shalat.”[25]
Kalau haidh seorang wanita terhenti pada
malam hari kemudian dia mandi pada subuh di pagi harinya, maka hukumnya sama
dengan hukum orang yang junub. Orang yang junub diperbolehkan untuk
mengakhirkan mandinya hingga subuh kemudian dia mandi dan menyempurnakan shaumnya,
sebagaimana dikatakan oleh umumnya para ulama’. Namun dengan syarat haidh
tersebut telah berhenti sebelum fajar, karena apabila dia haidh pada sebagian
siang hari, maka shaumnya batal. Selain itu, disyaratkan juga agar dia berniat untuk
shaum di malam hari setelah haidhnya terhenti, karena shaum seseorang tidak
dianggap sah kecuali jika dia berniat pada malam harinya.[26]
F. Rukun-Rukun Shaum[27]
1. Niat.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah
berkata, “Setiap orang yang tahu bahwa besok hari telah masuk bulan Ramadhan, kemudian
dia ingin melaksanakan shaum di bulan itu, maka dia telah berniat shaum, baik
dilafalkan atau tidak. Dan hal ini
merupakan amaliyah yang umumnya dilakukan kaum muslimin, mereka semua meniatkan
shaumnya.[28]
Waktunya
adalah pada bagian malam manapun di bulan tersebut hingga terbit fajar shadiq.
Demikian menurut madzhab Hambali, Syafi’i, Maliki dan lainnya.[29]
Rasulullah
SAW bersabda :
“Barangsiapa yang tidak meniatkan
shaum sebelum fajar, maka tidak ada shaum baginya.”[30]
Adapun setelah berniat lalu ia
melakukan sesuatu yang dapat membatalkan shaum, seperti makan, minum, atau
mencampuri isterinya, atau tidak melakukan semua itu sebelum terbit fajar
shadiq, maka tidak mengapa.[31]
Menurut madzhab Hambali, Hanafi,
Syafi’i dan Ibnul Mundzir, niat wajib dilaksanakan setiap hari di bulan
Ramadhan. Berbeda dengan pendapat Imam Ahmad yang mengatakan, bahwa satu kali
niat sudah dianggap sah untuk menjalankan shaum selama sebulan, apabila diniatkan
untuk shaum selama satu bulan. Dan demikian juga menurut madzhab Maliki dan
Ishaq.[32]
2. Imsak
(menahan diri) dari hal-hal yang membatalkan shaum.
3. Dilakukan
pada siang hari.
Allah
SWT berfirman :
وَكُلُوا
وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ اْلأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ
اْلأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى الَّيْلِ
“Dan makan minumlah hingga terang
bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah
shaum sampai malam hari.” [33]
G. Sunnah-Sunnah Shaum[34]
1. Bersegera
berbuka.
Rasulullah SAW bersabda :
لاَيَزَالُ النَّاسُ
بِخَيْرٍ مَا عَجِلُوا الْفِطْرَ
2.
Berbuka dengan
kurma atau air. Dan yang lebih utama adalah dengan kurma.
Diriwayatkan dari Anas bin Malik RA, dia berkata:
كَانَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُفْطِرُ عَلَى رُطَبَاتٍ قَبْلَ أَنْ
يُصَلِّيَ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ رُطَبَاتٌ فَعَلَى تَمَرَاتٍ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ
حَسَا حَسَوَاتٍ مِنْ مَاءٍ
“Rasulullah berbuka dengan beberapa ruthab (biji
kurma basah) sebelum menunaikan shalat. Jika tidak ada, maka dengan beberapa tamr (biji kurma
kering). Dan jika tidak ada, maka beliau minum beberapa teguk air.”[36]
3. Berdo’a
ketika akan berbuka.
Adapun do’a yang dibaca Rasulullah SAW
ketika akan berbuka adalah :
“Telah hilang dahaga, telah basah
kerongkongan, dan telah tetap pahalanya, Insya Allah.”[37]
4.
Sahur, yaitu
makan dan minum diakhir malam dengan niat shaum.
Rasulullah
SAW bersabda :
“Bersahurlah, sesungguhnya di dalam
sahur itu terdapat barokah.”[38]
5. Mengakhirkan
sahur hingga bagian akhir malam, yaitu sebelum terbitnya fajar shadiq
(shubuh).
Rasulullah SAW bersabda :
“Segerakanlah berbuka dan
akhirkanlah sahur.”[39]
H. Hal-Hal Yang Dimakruhkan Ketika Shaum[40]
Adapun
beberapa perkara yang dimakruhkan atas orang yang shaum, yang dikhawatirkan
akan merusak shaumnya, walaupun sebenarnya tidak merusak shaum.
1. Berlebih-lebihan ketika berkumur dan menghirup air ke
hidung saat berwudhu’.
2. Mencium (istri/suami), sebab terkadang dapat
membangkitkan syahwat sehingga shaumnya rusak, baik karena keluar mani, atau
kemudian ia meneruskannya dengan berjima’ (menggauli isterinya).
3.
Terus menerus memandang istri dengan syahwat.
4.
Berfikir urusan jima’.
5.
Bercumbu dengan isteri.
6.
Mencicipi masakan atau makanan.
7.
Berkumur-kumur bukan karena wudhu’, atau kepentingan lainnya yang dianggap
perlu.
8.
Bercelak di awal siang.
9.
Berbekam, apabila khawatir menjadikan dirinya lemah dan membuat ia berbuka.
I. Hal-Hal Yang Membatalkan Shaum Dan Wajib Atasnya Qadha’[41]
1. Memasukan
cairan ke dalam kerongkongan, baik lewat hidung atau telinga, seperti
memasukkan obat lewat hidung, atau dubur dan qubul (kemaluan) wanita, atau
meneteskan ke dalam telinga.
2. Dan
menurut madzhab Maliki bahwa cairan yang masuk ke dalam kerongkongan melalui
mata, dapat merusak shaum, baik sengaja maupun lupa.
3. Air
yang masuk ke dalam kerongkongan karena terlalu dalam ketika berkumur dan
menghirup air ke hidung saat bewudhu’.
4. Keluar
air mani karena terus menerus memandang atau berpikir (jima’), atau mencium,
atau bercumbu, atau sebab lainnya. Adapun keluar mani karena bermimpi, maka
tidak membatalkan shaum.
5. Muntah
dengan sengaja. Adapun muntah dengan tidak sengaja, maka tidak membatalkan
shaum.
6. Makan,
minum, dan berjima’.
7. Makan,
minum, atau berjima’, sedangkan ia mengira kalau keadaan masih malam (belum
terbit fajar), dan ternyata fajar telah terbit.
8. Makan
atau minum, karena ia menyangka kalau
malam telah masuk (datang waktu maghrib) dan ternyata masih siang.
9. Makan
atau minum karena lupa, kemudian membatalkan shaumnya, karena menyangka
bahwasannya tidak wajib untuk kembali meneruskan shaumnya.
10. Berbuka
dalam keadaan ragu, apakah matahari telah terbenam atau belum, dan belum jelas
baginya.
11. Betul-betul
berniat untuk berbuka (mbongkah : jawa) sebelum datang waktu maghrib.
12. Sengaja
memasukkan sesuatu yang tidak memberikan faedah bagi badan ke dalam
kerongkongan lewat mulut, seperti menelan batu, mutiara, benang, atau besi.
13. Sengaja memasukkan air ke dalam dubur ketika istinja’.
14. Memasukkan potongan kain, atau kayu, atau jari yang basah
ke dalam dubur maupun qubul wanita, apabila masuk seluruhnya, dan kalau masuk
sebagiannya saja, maka tidak merusak shaum.
15. Murtad
(keluar dari Islam).
J. Hal-Hal Yang Membatalkan Shaum Dan Wajib Atasnya Qadha’ Dan Kafaroh[42]
1. Berjima’
( bersenggama ) dengan sengaja tanpa dipaksa.
Dari Abu Hurairah RA dia berkata: Ketika kami duduk di
sisi Rasulullah SAW tiba-tiba datang laki-laki kepada Nabi SAW seraya berkata,
“Celaka saya ya Rasulullah”. “Kenapa kamu celaka ?”, Tanya beliau. Laki-laki
itu menjawab, “Saya telah bersetubuh dengan isteri saya pada siang hari
Ramadhan.” Rasulullah SAW bertanya, “Sanggupkah kamu memerdekakan seorang
budak ?”. “Tidak “,jawab laki-laki itu. “Kuatkah kamu shaum dua bulan
berturut-turut ?”, Tanya Rasulullah SAW pula. “Tidak”, jawabnya. “Sanggupkah
kamu memberi makan kepada 60 orang miskin ?”, Tanya beliau. Dan laki–laki
itu pun tetap menjawab, "Tdak”. Kemudian ia duduk, maka datanglah Nabi SAW
dengan membawa sebakul kurma seraya
berkata : “Sedekahkanlah kurma ini”, kata Nabi SAW. “Apakah kepada orang
yang lebih fakir dari kami ya Rasulullah, padahal tidak ada satu warga pun di
kampung kami yang lebih miskin daripada kami”, kata laki-laki itu menerangkan.
Dan Nabi SAW pun tersenyum sampai kelihatan gigi gerahamnya, lalu beliau
katakan : “Pulanglah, berikan kurma ini kepada keluargamu.”[43]
2.
Makan dan minum
dengan sengaja tanpa adanya udzur yang membolehkan dia berbuka.
عَنْ
أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ النَّبِيَّ أَمَرَ رَجُلاً أَفْطَرَ فِي رَمَضَانَ أَنْ
يَّعْتِقَ رَقَبَةً أَوْ يَصُوْمَ شَهْرَيْنَ أَوْ يُطْعِمَ سِتِّيْنَ مِسْكِيْنًا
Dari Abu Hurairah RA bahwasannya
Nabi SAW menyuruh seorang laki-laki yang
sengaja berbuka pada bulan Ramadhan, agar membebaskan budak, atau shaum selama
dua bulan, atau memberi makan 60 orang miskin.[44]
K. Hal-Hal Yang Diperbolehkan Bagi Orang Yang Shaum[45]
1. Bersiwak
(menggosok gigi) di sepanjang waktu siang, kecuali menurut Imam Ahmad,
bahwasannya makruh bersiwak setelah matahari tergelincir.
2. Mendinginkan
tubuh dengan air karena cuaca sangat panas, baik dengan diguyur air atau
berendam di dalamnya.
3. Makan,
minum dan melakukan hubungan suami isteri di malam hari sebelum terbit fajar.
4. Melakukan
safar (perjalanan) karena keperluan yang diperbolehkan (bukan maksiyat),
meskipun dia tahu kalau safarnya itu dapat mengakibatkan dirinya berbuka.
5. Berobat
dengan obat apapun selama halal, yang tidak menyebabkannya masuk ke dalam
kerongkongan walau pun sedikit, di antara (yang dibolehkan) adalah dengan jarum
suntik selama itu bukan infus.
6. Mengunyah
makanan untuk anak kecil karena tidak ada orang lain yang mengunyahkannya,
dengan syarat tidak sedikit pun yang masuk ke dalam kerongkongan.
7. Menggunakan
parfum, atau harum-haruman yang sifatnya dibakar dahulu.
8. Memakai
minyak wangi, baik yang dioleskan ke badan, ataupun minyak rambut.
9. Berbekam,
apabila tidak khawatir menjadikan badannya lemah.
L. Hal-Hal Yang Dimaafkan Bagi Orang Yang Shaum[46]
1.
Menelan ludah
sendiri, walaupun banyak.
2.
Lalat yang
tertelan tanpa ia kehendaki.
3.
Asap jalanan
dan pabrik, asap kayu dan seluruh asap yang tidak mungkin dihindari.
4.
Dalam keadaan
junub di waktu subuh (setelah melakukan jima’ sebelum terbit fajar namun belum
mandi setelah datang waktu subuh).
5.
Mimpi junub di
siang hari.
6.
Makan dan minum
karena lupa atau tidak sengaja, lalu melanjutkan shaumnya.
Rasulullah
bersabda:
“Apabila seseorang lupa lalu makan
dan minum, hendaklah ia sempurnakan shaumnya, tidak lain karena Allah
memberinya makan”.[47]
“Barangsiapa yang berbuka (makan
atau minum) pada bulan Ramadhan karena lupa maka tidak ada qadha’ dan kafarah
atas dirinya”.[48]
M. Beberapa Amalan Di Bulan Ramadhan[49]
1. Shadaqah.
Rasulullah SAW bersabda:
مَنْ
فَطَّرَ صَائِمًا كَانَ لَهُ مِثْلَ أَجْرِهِ، غَيْرَ أَنَّهُ لاَيَنْقُصُ مِنْ
أَجْرِ الصَّائِمِ شَيْئاً
“Barangsiapa memberi makan untuk
berbuka orang yang shaum, baginya pahala orang yang shaum tersebut tanpa
dikurangi sedikit pun dari pahalanya”.[50]
2. Qiyamul
lail.
Rasulullah SAW bersabda :
“Barangsiapa yang melaksanakan
qiyamul lail pada bulan Ramadhan dengan penuh keimanan dan penuh mengharap
ridha Allah, diampuni baginya dosa-dosanya yang lalu”.[51]
3. Tilawah
(membaca) Al-Qur’an
Rasulullah SAW bersabda :
الصِّيَامُ وَ اْلقُرْآنُ يَشّفَعَانِ
لِلْعبْدِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، يَقُوْلُ الصِّيَامُ: أَيْ رَبِّ إِنِّي مَنَعْتُه
الطَّعَامَ وَ الشَّهَوَاتَ بِالنَّهَارِ فَشَفِعْنِيْ فِيْهِ، يَقُوْلُ القُرْآنَ:
رَبِّ مَنَعْتُهُ النَّوْمَ بِاللَّيْلِ فَشَفِعْنِيْ فِيْهِ، فَيَشْفَعَانِ
“Shiyam dan bacaan Qur’an dapat
memberi syafa’at kepada seseorang (yang melakukan dan membacanya) pada hari kiamat. Shiyam mengatakan: “Ya Rabb,
aku telah mencegahnya dari makan dan minum di siang hari.” Sedangkan bacaan
Qur’annya berkata: “Aku telah melarangnya dari tidur di malam hari. Maka dari
itu berikanlah dia syafa’at karena kami”. [52]
4. I’tikaf,
yaitu berdiam diri di dalam masjid untuk beribadah mendekatkan diri kepada
Allah sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan.
‘Abdullah bin ‘Umar berkata:
كَانَ
رَسُوْلُ الله يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ الأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ
"Adalah Rasulullah melaksanakan I’tikaf pada
sepuluh hari terakhir Ramadhan.”[53]
5. Melakukan
‘umrah, yaitu menziarahi Baitullah Al-Haram untuk melakukan thawaf sa’i.
Rasulullah SAW bersabda:
“Sesungguhnya ‘umrah pada bulan
Ramadhan, dapat mencapai (pahala) haji, atau melaksanakan haji bersamaku”.[54]
N. Mereka Yang Mendapat Rukhshah (Keringanan) Untuk Tidak Shaum
1.
Laki-laki dan
wanita yang tua renta.
Allah
SWT berfirman:
وَعَلَى
الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةُ طَعَامُ مِسْكِينٍ
“…dan wajib bagi orang yang berat
menjalankannya (tidak shaum) untuk membayar fidyah, yaitu memberi makan seorang
miskin…” [55]
Ibnu ‘Abbas RA berkata, “Ayat ini merupakan rukhshah (keringanan)
bagi laki-laki atau wanita tua renta yang apabila tidak sanggup menjalankan shaum,
diperbolehkan bagi mereka untuk berbuka dan setiap harinya memberi makan
seorang miskin sebagai ganti satu hari shaumnya”.[56]
2. Orang
sakit.
Orang sakit yang tidak dapat
diharapkan kesembuhannya, diperbolehkan untuk berbuka dan memberi makan seorang
miskin untuk setiap hari sebagai fidyah shaum yang telah dia tinggalkan.[57]
Namun jika masih bisa diharapankan kesembuhannya
tapi jika dia shaum akan menyulitkannya atau sakitnya bertambah parah dan lebih
lama sembuhnya, atau kalau shaum dia akan bertambah sakit, atau tidak dapat
meminum obat yang dapat membantu penyembuhannya, maka untuk kasus-kasus semacam
ini dia diperbolehkan untuk berbuka, dan dia wajib mengqadha’ shaum yang dia
tinggalkan, apabila telah sembuh.[58]
Allah SAW berfirman:
وَمَن
كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ أَيَّامٍ أُخَرَ
“…dan
barangsiapa yang sakit atau dalam perjalanan ( lalu dia berbuka ), maka (
wajiblah baginya shaum ) sebanyak hari yang ditinggalkannya itu pada hari-hari
yang lain… [59]
3. Pekerja berat.
Seorang pekerja jika dihadapkan pada
pekerjaan berat yang ia khawatir bila melakukan shaum akan membahayakan
dirinya, maka dia diperbolehkan berbuka dan mengqadha’ shaumnya, apabila dengan
meninggalkan pekerjaan beratnya itu dapat membahayakan dirinya. Namun jika
tidak membahayakan dirinya, maka dia berdosa apabila berbuka.[60]
4. Musafir
Orang
yang sedang safar dan menempuh jarak yang memperbolehkannya shalat qashar, maka
diperbolehkan untuk berbuka pada bulan Ramadhan, sesuai kesepakatan para
‘ulama, baik dia mampu untuk melakukan shaum ataupun tidak, dan baik shaumnya
itu memberatkan dirinya maupun tidak.
Adapun
jarak yang memperbolehkan seseorang untuk mengqashar shalatnya dan berbuka,
menurut madzhab Maliki, Syafi’i dan Ahmad adalah perjalanan yang ditempuh
dengan unta atau berjalan kaki selama dua hari, misalnya perjalanan antara
Makkah dan Jeddah, atau perjalanan yang berjarak 16 farsakh, yaitu
sekitar 48 mil ( 88,7 Km).[61]
Dan menurut Imam Abu Hanifah adalah perjalanan yang ditempuh selama tiga hari.
Para
ulama’ salaf dan khalaf lainnya mengatakan, “Bahkan dia diperbolehkan untuk
mengqashar dan berbuka dalam perjalanan yang ditempuh kurang dari dua hari.” Inilah
pendapat yang kuat menurut Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, selama safarnya itu
bukan untuk maksiyat.[62]
5. Wanita
hamil dan menyusui.
Apabila
wanita hamil dan menyusui khawatir akan keselamatan jiwa mereka, atau beserta
anak-anak mereka sendiri, maka diperbolehkan bagi mereka untuk berbuka. Namun
wajib untuk mengqadha’ shaum yang ditinggalkannya dan tidak diwajibkan membayar
fidyah, seperti halnya orang sakit yang diperbolehkan berbuka.[63]
Dan
jika mereka hanya mengkhawatirkan keselamatan anak-anaknya saja, bukan
keselamatan jiwa mereka sendiri, maka diperbolehkan berbuka, dan diwajibkan
untuk mengqadha’ shaum yang ditinggalkannya, ditambah dengan membayar fidyah
shaum yang ditinggalkannya, karena sebenarnya mereka mampu untuk melaksanakan shaum.[64]
Namun
Ibnu Abbas RA dan Ibnu Umar RA berpendapat bahwa wanita hamil dan menyusui jika
meninggalkan shaum cukup baginya untuk membayar fidyah, tidak perlu untuk
mengqadha shaum yang ditinggalkannya.
Dari
Imam Malik, dari Nafi', bahwa Ibnu 'Umar RA ditanya tentang wanita hamil bila
khawatir terhadap (kesehatan) anaknya. Dia menjawab, "Dia berbuka dan
memberi makan kepada satu orang miskin setiap hari sebanyak satu mud
gandum." Dan Ad-Daroquthni meriwayatkan (1/207) dari Ibnu Umar RA dan
dia menshahihkannya, ia berkata, "Wanita hamil dan menyusui boleh
berbuka dan tidak wajib mengqhada.' Dan dia meriwayatkan dari jalur yang
lain, "Bahwasanya istrinya bertanya kepadanya disaat dia sedang hamil, ia
berkata, "Berbukalah dan berilah makan kepada seorang miskin setiap
hari dan dia tidak wajib mengqhada." Dan isnadnya jayyid (baik).
Dan dari jalur ketiga, darinya, "Sesungguhnya anak perempuannya
dinikahi oleh seseorang dari kaum Quraisy, dan dia sedang mengandung. Lalu dia merasa kehausan di bulan Ramadhan. Maka dia
menyuruhnya berbuka, dan memberi makan satu orang miskin setiap hari."[65]
Sedangkan ukuran fidyah adalah
satu mud gandum, yang sepadan dengan ¼ sha’
atau 675 gram bahan makanan lain.[66]
Allah
berfirman:
“…dan
wajib bagi orang yang berat menjalankannya ( tidak shaum ) untuk membayar
fidyah, yaitu memberi makan seorang miskin…” [67]
إِنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ وَضَعَ عَنِ
الْمُسَافِرِ شَطْرَ الصَّلاَةِ، وَعَنِ الْمُسَافِرِ وَالْحَامِلِ وَالْمُرْضِعِ
الصَّوْمَ أَوِالصِّيَامَ
“Sesungguhnya Allah ‘Azza wa jalla telah
membebaskan separuh shalat bagi musafir, dan juga membebaskan shaum dari
seorang musafir, wanita yang hamil dan wanita yang menyusui.”[68]
SHALAT TARAWIH
Sebab Penamaan
Kata tarawih adalah bentuk jama’ dari dari kata
“tarwihah” yang artinya istirahat pada tiap-tiap empat roka’at.[69]
Kemudian tiap empat roka’at dari shalat malam disebut juga dengan istilah
tarawih. Hal ini didasarkan pada riwayat Imam Al Baihaqi dari Aisyah
Radhiyallahu’anha, beliau berkata:
كَانَ رَسُوْل الله صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ يُصَلِّي أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ فِي اللَّيْلِ ثُمَّ يتروح فَأَطَالُ
حَتَّى رَحْمَتِهِ
“Rasulullah
shalat malam empat rakaat lalu istirahat lama sekali sehingga saya merasa iba
kepada beliau.”[70]
Shalat Sunnah yang dikerjakan pada
malam hari disebut qiyamullail atau shalat lail, shalat lail juga sering
disebut dengan nama shalat tahajjud. Bila shalat lail/ qiyamullail/ tahajud
dikerjakan di bulan Ramadhan, maka disebut shalat tarawih. Dinamakan shalat
tarawih karena para salaf mengerjakan shalat malam tersebut dengan cara
berhenti sejenak untuk beristirahat di tiap-tiap empat rakaat. [71]
Dalil Dan Keutamaannya
a. Hadits
dari Abu Hurairah ra
“Barang siapa yang mendirikan shalat malam di bulan Ramadhan karena
iman dan mengharap pahala (dari Allah) niscaya diampuni dosa-dosanya yang telah
lalu”. [72]
2.
Hadits dari Abu Hurairah ra
إِنَّ رَمَضَانَ
شَهْرُ فَرَضَ اللهُ صِيَامَهُ وَإِنِّي سَنَنْتُ لِلْمُسْلِمِيْنَ قِيَامه فَمَنْ
صَامَهُ وَقَامَهُ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا خَرَجَ مِنَ الذُّنُوْبِ كَيَوْمِ
وَلَدَتْهُ أُمُّهُ
“Sesungguhnya Ramadhan adalah bulan yang diwajibkan Allah untuk
shaum dan aku sunnahkan shalat pada malamnya. Maka barang siapa yang
menjalankan shaum dan shalat pada malamnya karena iman dan mengharap pahala,
niscaya ia bebas dari dosa-dosanya seperti saat ia dilahirkan oleh ibunya.”
[73]
3.
Hadits dari Abu Dzar ra
الرَّجُلُ إِذَا قَامَ مَعَ الإِمَامِ حَتَّى
يَنْصَرِفَ كُتِبَ لَهُ قِيَامُ لَيْلِهِ
“Sesungguhnya apabila seorang shalat (tarawih) bersama imam
hingga selesai baginya dicatat melaksanakan shalat semalam suntuk.” [74]
Bilangan Rakaat
a. Jumlah rakaat yang bisa dilaksanakan oleh Rasulullah adalah 11 atau 13 rakaat,
dihitung 11 rakaat jika tanpa shalat iftitah sebanyak dua rakaat. Berdasarkan
riwayat dari Aisyah Radhiyallahu’anha beliau berkata:
مَا كَانَ رَسُوْلُ الله صَلَّى الله عَلَيْهِ وَ سَلَّم
يَزِيْدُ فِيْ رَمَضَانَ وَلاَ غَيْرُهُ عَلَى إِحْدَى عَشَرَ رَكَعَة
“Tidaklah Rasulullah Shalallahu alaihi wasallam shalat malam
di bulan Ramadhan maupun di luar
Ramadhan lebih dari 11 rakaat”. [75]
Dari
Aisyah ra beliau berkata:
كاَنَ النَّبِيُ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ يُصَلِّيَ
مِنَ اللَّيْلِ ثَلاَثَ عَشَرَةَ رَكْعَةً مِنْهَا رَكْعَتَا الْفَجْرِ
“Nabi Shalallahu’alaihi wasalllam shalat malam di bulan
Ramadhan sebanyak 13 rakaat sudah termasuk witir dan dua rakaat shalat sunnah
fajar.” [76]
b.
Namun boleh
juga shalat tarawih lebih dari sebelas rakaat. Demikianlah pendapat para
Ulama’. Mereka beralasan dengan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Al Baihaqi.
Secara ringkas pendapat para ulama’ dalam masalah ini
sebagai berikut:
·
20 rakaat
tarawih belum termasuk witir, dengan lima kali tarwihat (Istirahat sejenak tiap
empat rakaat), setiap dua rakaat salam. ini adalah pendapat Imam Asy-Syafi’i, Imam
Ahmad, Imam Abu Hanifah, dan Imam Daud Adh Dhohiri. Al
Qodli Iyadl meriwayatkan ini dari jumhur Ulama’.
·
40 rakaat
tarawih, ditambah 7 rakaat witir. Ini adalah pendapat Imam
Aswad Bin Yazid.
·
36 rakaat tarawih belum termasuk
wiitir, dikerjakan dalam sembilan kali tarwihat, ini adalah pendapat Imam
Malik. Dasarnya adalah shalat penduduk Madinah, sebagaimana yang diriwayatkan
oleh Nafi’ maula Ibnu Umar ra “Saya mendapati kaum muslimin di Madinah shalat
tarawih 39 rakaat, yang tiga rakaat adalah witir. [77]
Bolehnya
shalat tarawih lebih dari 11 rakaat menjadi pendapat jumhur Ulama’, sebagaimana
yang tegaskan oleh para ulama’:
Syaikh
Abdul Aziz Muhammad Salman menyatakan: “Diriwayatkan dari Ibnu Abbas ra bahwa
shalat tarawih adalah 20 rakaat secara berjama’ah. Ini juga menjadi pendapat
Imam Malik. Imam Ibnu Abdil Barr memilih pendapat ini, namun beliau mengatakan
riwayat dari Imam Malik adalah 11 rakaat”.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menyatakan “…
boleh shalat 20 rakaat dengan berjama’ah sebagiamana pendapat yang masyhur
dalam madzhab Syafi’i dan Ahmad. Boleh juga shalat 36 rakaat sebagaimana
pendapat Imam Malik dan ia juga oleh shalat 11 dan 13 rakaat, semuanya baik,
banyak dan sedikitnya rakaat tergantung panjang dan pendeknya berdiri (lama
tidaknya shalat).
Dia
juga mengatakan “Yang lebih utama adalah berbeda dengan keadaan makmum, kalau
mereka sanggup berdiri lama, maka yang lebih utama adalah 10 rakaat, tarawih
dan 3 witir, sebagaimana yang dikerjakan oleh Rasulullah saw saat shalat
sendirian di bulan Ramadhan dan bulan-bulan lainnya. Kalau makmum tidak kuat,
maka yang lebih utama adalah 20 rakaat dan ini merupakan pendapat sebagian
besar (ulama’) kaum Muslimin, sebagai pertengahan antara 10 dan 40 (11 dan 36),
shalat 40 rakaat atau lebih juga boleh dan tidak dilaksanakn. Barang siapa yang
mengira bahwa jumlah rakaatnya sudah ditentukan sehingga tidak boleh lebih atau
kurang, berarti dia telah berbuat salah. Karena seseorang kadang-kadang rajin
sehingga yang lebih utama adalah memanjangkan ibadah, namun kadang-kadang juga
malas sehingga yang lebih utama adalah meringankannya”. [78]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan: “Nabi Shalallahu’alaihi
wasallam shalat malam di bulan Ramadhan dan bulan-bulan yang lainnya sebanyak
11 atau 13 rakaat, tetapi shalat beliau sangat panjang (lama). Ketika kaum
muslimin merasa berat, pada masa Umar Ibnu Khathab ra, Ubay bin Ka’ab ra mengimami
mereka sebanyak 20 rakaat, kemudian shalat witir. Dia meringankan berdirinya
sehingga jumlah rakaat yang lebih banyak ini menjadi pengganti dari lamanya
berdiri. Sebagaimana Salaf Ash Shalih shalat tarawih 40 rakaat dengan
meringankan berdirinya, lalu witir 3 rakaat, sebagian Ulama’ salaf lainnya
shalat 36 rakaat, kemudian shalat witir”. [79]
Setelah
menerangkan pendapat Ulama’ Salaf dalam masalah jumlah rakaat tarawih Imam Asy
Syaukani menyimpulkan: “Kesimpulan yang ditunjukkan oleh hadits-hadits dalam
masalah ini dan hadits-hadits yang semisal adalah disyari’atkannya shalat malam
pada bulan Ramadhan yang dikenal dengan nama tarawih, baik secara berjama’ah
maupun sendiri-sendiri. Membatasi jumlah rakaat atau bacaan tertentu tidak ada
dasarnya dari As Sunnah”. [80]
Waktu Shalat Tarawih
Para Ulama telah sepakat bahwa waktu shalat tarawih
dan wiitir adalah setelah selasainya
shalat Isya’ sampai sebelum subuh. diriwayatkan dari Masruq, dari 'Aisyah ra berkata:
مِنْ كُلِّ اللَّيْلِ قَدْ أَوْتَرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ أَوَّلِ اللَّيْلِ وَأَوْسَطِهِ وَآخِرِهِ فَانْتَهَى
وِتْرُهُ إِلَى السَّحَرِ
“Aisyah ra berkata, 'Tiap malam Rasulullah
melakukan shalat witir di awal malam, di pertengahan malam atau akhir malam,
dan witir beliau berakhir di waktu Sahur”. [81]
Dari Abi Sa'id Al-Khudri ra berkata, bahwa Nabi saw bersabda:
“Witirlah kalian
sebelum shalat subuh”. [82]
Sedangkan
mengenai waktu mana yang lebih utama (Afdal), sebagian Ulama’ menyatakan
setelah shalat isya’ adalah lebih utama berdasarkan shalatnya Ubay bin Ka’ab di
masa Umar ra, yang selanjutnya dilaksanakan oleh umat Islam sampai hari ini,
namun pendapat yang lebih kuat – Wallahu’a’lam - adalah yang menyatakan bahwa
yang afdal adalah melaksanakannya di akhir malam. Berdasarkan dalil:
- Firman Allah Ta’la:
- Hadits:
Dari
Abdulah bin Amru ra bahwa Rasulullah Shalallahu’laihi wasallam bersabda
kepadanya:
أَحَبُّ الصَّلاَةِ إِلَى اللَّهِ صَلَاةُ
دَاوُدَ عَلَيْهِ السَّلاَم وَأَحَبُّ الصِّيَامِ إِلَى اللَّهِ صِيَامُ دَاوُدَ
وَكَانَ يَنَامُ نِصْفَ اللَّيْلِ وَيَقُومُ ثُلُثَهُ وَيَنَامُ سُدُسَهُ
وَيَصُومُ يَوْمًا وَيُفْطِرُ يَوْمًا
“Shalat yang paling dicintai Allah ta’ala adalah shalatnya Nabi
Daud Alaihisalam. Shaum yang paling dicintai oleh Allah adalah shaumnya
Nabi Daud. Beliau tidur setengah malam
dan shalat sepertiganya, dan tidur lagi seper enamnya, beliau berpuasa sehari
dan berbuka sehari”. [84]
Dari
Abu Ishak, dari Al Aswad dia berkata, "Saya bertanya kepada Aisyah ra,
bagaimana sifat shalat malam Rasulullah ? Dia menjawab:
كَانَ يَنَامُ أَوَّلَهُ وَيَقُومُ آخِرَهُ
فَيُصَلِّي ثُمَّ يَرْجِعُ إِلَى فِرَاشِهِ فَإِذَا أَذَّنَ الْمُؤَذِّنُ وَثَبَ
فَإِنْ كَانَ بِهِ حَاجَةٌ اغْتَسَلَ وَإِلاَّ تَوَضَّأَ وَخَرَجَ
“Beliau tidur diawal malam dan bangun di akhir malam lalu
shalat. Kemudian beliau kembali ke tempat tidur. Bila Muadzin mengumandangkan
adzan beliau bangun, bila ada hajat beliau mandi, bila tidak ada hajat beliau
segera berwudlu dan keluar ke masjid”.[85]
Dan
masih banyak lagi hadits-hadits yang menerangkan tentang keutamaan shalat pada
akhir malam.
Berjama’ah Atau Sendirian ?
Dalam hal ini para Ulama’ berbeda pendapat:
c. Yang
lebih utama adalah berjama’ah
Ini
adalah pendapat Imam Ahmad, Al Muzani, Ibnu Abdil Hakam, dan sebagian shahabat
Abu Hanifah. Imam Ahmad berkata, “Shalat tarawih berjama’ah adalah lebih baik.
Jika seseorang menjadi panutan lantas shalat tarawih sendirian di rumah, saya
khawatir orang-orang akan ikut-ikutan shalat di rumah.” Dia juga mengatakan,
“Shahabat Jabir, Ali dan Abu Hurairah ra juga shalat tarawih berjama’ah”.
Imam
Ath Thahawi dan Al Laits menyatakan, “Setiap orang yang mengutamakan shalat
tarawih sendirian di rumah harus memastikan bahwa ketidak hadirannya di masjid
tidak menyebabkan shalat tarawih berjama’ah
di masjid tidak terlaksana. Jika ketidak hadirannya menyebabkan shalat
tarawih berjama’ah tidak terlaksana maka ia tidak boleh shalat sendirian”. [86]
Dalilnya
adalah:
1. Perbuatan
para shahabat sejak masa Umar bin Khatab ra yang melaksanakan shalat tarawih berjama’ah.
2.
Rasulullah saw pernah
shalat tarawih 3 atau 4 malam. Beliau tidak meneruskannya karena takut kalau
shalat tarawih dianggap wajib.
3. Hadits
Abu Dzar ra. (Lihat Hal.1 hadist No. 2).
Tentang
hadits ini Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkomentar “dalam hadits ini ada
anjuran untuk qiyam Ramadhan di belakang imam ( secara berjama’ah ), hal ini
lebih dianjurkan dari shalat sunnah biasa, orang-orang shalat taraawih
berjama’ah pada masa Rasululah saw dan beliau mengakuinya. Pengakuan beliau ini
adalah Sunnah beliau”. [87]
d. Shalat
sendirian lebih baik
Imam
Malik dan sebagaian Ulama Syafi’iyyah menyatakan, bagi orang yang kuat shalat
tarawih sendirian maka itu lebih baik, dasarnya adalah hadits yang menyatakan
sebaik-baik shalat sunnah adalah di rumah.
Imam An Nawawi menyatakan: “Para Ulama sepakat bahwa
shalat tarawih itu sunnah. Namun mereka berbeda pendapat mana yang lebih utama,
secara sendirian di rumah atau berjama’ah di masjid. Imam Asy-Syafi’i dan
sebagian besar shahabat beliau, Abu Hanifah, Ahmad, sebagian Ulama’ Malikiyah
dan Ulama’ lain menyatakan bahwa yang lebih utama adalah berjama’ah.
Sebagaimana yang dikerjakan shahabat Umar ra dan para Shahabat yang lain dan
terus dikerjakan oleh kaum muslimin dikarenakan merupakan syi’ar yang nyata
sehingga kedudukannya seperti shalat ied. Imam Ath Thahawi menambahkan
menegaskan “Shalat tarawih berjama’ah adalah fardlu kifayah”.
Adapun Abu Yusuf, Imam Malik sebagian Syafi’iyyah dan
Ulama’ yang lain menyatakan yang lebih utama adalah shalat sendirian di rumah
berdasarkan hadits:
فَصَلُّوا أَيُّهَا النَّاسُ فِي بُيُوتِكُمْ
فَإِنَّ أَفْضَلَ صَلاَةِ الْمَرْءِ فِي بَيْتِهِ إِلاَّ الصَّلاَةَ
الْمَكْتُوبَةَ
“Shalatlah kalian di
rumah kalian wahai manusia, karena sebaik-baik shalat adalah shalat seseorang
di rumahnya kecuali shalat wajib”. (HR. An-Nasai)[88]
Wallohu
a'lam bis showab.
SHOLAT IDUL
FITRI
DAFTAR PUSTAKA
1.
Ad Dinul Kholis, Syaikh Mahmud Muhammad As Subki.
2.
Al Fatawa Al Kubra, Syaikh
Islam Ibnu Taimiyah.
3. Al Kaafi Fie Fiqhi Al Imam Ahmad, Ibnu
Qudamah.
4.
Al Majmu’ Syarhul Muhadzdzab,
Imam An Nawawy.
5.
Al Mughni, Ibnu Qudamah (Abu
Muhammad Abdulloh bin Ahmad bin Muhammad bin Qudamah Al Maqohsy).
6.
Al-Fiqih Al-Islami Wa Adillatuhu,
Dr. Wahbah Az-Zuhaili.
7. Al-Jami’ li Ahkamil Qur’an, Imam
al-Qurthubi.
8. Al-Lu’lu’ Wal Marjan, Muhammad Abdul Baqi.
9. Al-Mishbah Al-Munir, Imam Ahmad bin
Muhammad Al Fayummi Al Muqri’i.
10.
Al-Munjid fil Lughah, Louis
Ma’luf.
11.
Al Muwaththa’, Imam Malik bin
Anas bin Malik bin Abi Amir bin Amr bin Al Harits Al Ashbahi Al Hamiri Abu
Abdillah Al Madani
12.
Al-Qomus Al-Muhith, Imam
Majduddin Muhammad bin Ya’qub bin Muhammad bin Ibrahim Al Fairuz Abadi Asy
Syirazi Asy Syafi’i
13.
Aunul Ma’bud, Abu Thayyib
Syamsul Haq Al ‘Adhim Abadi.
14.
Bidayatul Mujtahid wan
Nihayatul Muqtasid, Ibnu Rusyd al Hafidz.
15.
Ensiklopedi Hukum Wanita dan
Keluarga, Dr. Abdul Karim Zaidan.
16.
Fatawa Al-Kubra, Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyah.
17.
Fatawa Al-Lajnah Ad-Da’imah lil
Buhuts Al-‘Ilmiyyah wa Al-Ifta’, Asy-Syaikh Ahmad bin Abdur Rozaq Ad-Duwaisy.
18.
Fathul Bari Syarhu Shahih
al-Bukhari, Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani.
19.
Fiqhuz Zakah, Yusuf Qordlowi.
20. Fiqhul ‘Ibadat, Hasan Ayyub.
21.
Fiqih I'tikaf, Nashir bin
Sulaiman Al-Umar.
22.
Jami’ At Tirmidzi, Imam Abu Isa
Muhammad bin Isa bin Surah bin Musa bin Adh Dhahhak As Salmi Adh Dharir Al
Bughi At Tirmidzi.
23.
Jami’ul Bayan ‘An Ta’wili Ayyil
Quran, Imam Ath-Thabari
24.
Kamus Al Munawwir Arab-Indonesia, Ahmad Warson Munawwir.
25.
Kifayatul Akhyar, Muhammad
Al-Husaini.
26.
Kitab Al-Umm, Imam Asy-Syafi'i.
27.
Kitabul Fiqh ‘ala Madzahibil
‘Arba’ah, Abdurrahman al-Jazary.
28.
Lisanul-Arab, Abul Fadhl
Jamaluddin bin Makram bin Mandzur Al Afriki Al Mishri.
29.
Majalutul Buhuts Al-Islamiyah,
Idaratul Buhuts Al-Ilmiyah Wal Ifta Wad Dakwah Wal Irsyad.
30.
Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyah,
'Abdurrahman bin Muhammad bin Qasim dan Anaknya.
31.
Mawaridludh Dham’an, Abdul Aziz
Muhammad Salman.
32.
Minhajul Muslim, Abu Bakar
Jabir Al-Jazairi.
33.
Musnad Ahmad, Imam Ahmad bin
Muhammad bin Hambal bin Hilal.
34.
Nailul Authar, Imam As-Syaukani.
35.
Puasa Bersama Nabi, Syaikh
Salim bin Id Al-Hilali dan Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid.
36.
Risalah Romadhan, Abdullah Bin
Jarullah Bin Ibrohim Al Jarullah.
37. Salsabil Fi Ma’rifati Dalil, Shalih bin
Ibrahim Al-Balaihi
38. Shahih Al-Bukhari, Imam Abu Abdillah
Muhammad bin Isma’il bin Ibrahim bin Al-Mughirah Al-Ja’fi Al-Bukhari
39. Shahih Al-Jami’ Ash-Shagir, Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani.
40. Shahih Al-Jami’ Ash-Shagir, Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani.
41. Shahih Ibnu Majah, Syaikh Muhammad
Nashiruddin Al-Albani.
42. Shahih Muslim bi Syarhin Nawawi, Imam Abu
Zakariya Yahya bin Syarafuddin an-Nawawi Ad-Damsyiqi
43. Shahih Muslim, Imam Muslim bin Al-Hajjaj
bin Muslim al-Qusyairi Abul Hasan An-Naisaburi.
44. Subulus Salam, Ash Shon’aniy.
45.
Sunan An Nasa’I, Imam Abu
Abdurrahman Al Hafidz Ahmad bin Syu’aib bin Ali bin Sinan bin Bahr An Nasa’I.
46.
Sunan Abi Dawud, Imam Abu Daud
As Sijistani Sulaiman bin Al ‘Asy’ats bin Syidad bin Amr Al Azdi.
47.
Sunan Ad-Darimy, Imam Ad Darimi
48. Sunan Ad-Daruquthni, Ali bin ‘Umar Abul
Hasan Ad-Daruquthni Al-Baghdadi.
49. Sunan Ibnu Abi Syaibah, Abu Bakar Abdullah
bin Muhammad bin Abi Syaibah.
50. Sunan Ibnu Majah, Abu Abdullah Muhammad
bin Yazid Arrabi’ie Ibnu Majah.
51. Syarhus Sunnah, Imam Abu Muhammad
Al-Husain bin Mas'ud Al-Baghawi.
52.
Tafsir Ad Duur Al Mantsur, Imam
As-Suyuthi.
53.
Tafsir Al-‘Aliyil Qadir li Ikhtishar
Tafsir Ibnu Katsir, Muhammad Nasib Ar-Rifa'i.
54.
Tafsir Al-Qur’anul ‘Adhim, Imam
Ibnu Katsir.
55.
Tafsir Fathul Qodir Al Jami’ Baina
Riwayah Wa Diroyah Ilmu Tafsir, Imam Muhammad Bin Ali Bin Muhammad Syaukani.
56.
Taisir 'Alam Syarh Umdatul Ahkam, Abdullah Ali Bassam.
57.
Tuhfatul Ahwadzi Syarh Sunan
At-Tirmidzi, Syaikh 'Abdurrahman 'Abdurrahim Al-Mubarakfuri.
58.
Zadul Ma'ad, Imam Syamsyuddin
Syihabuddin Abu Abdullah Muhammad bin Bakar Az-Zaraiy ad-Damsyiqy/Ibnul Qoyyim
[1] Al Mughni, 3/85; Ad-Dienul Khalish, 8/317, Minhajul Muslim, hal
300, Fiqhul Ibadat, hal 201, Al-Fiqh ‘Ala Al-Madzahib Al-Arba’ah, 1/492.
[4] Shahih Al-Bukhari, no. 8; Muslim, no 16.
[5] Shahih Al-Bukhari, no. 46; Muslim, no 11
[6] Lihat Zaadul-Ma’ad, 2/36-37
[7]Dua cara inilah yang menjadi petunjuk Nabi dalam menetapkan awal dan
akhir Ramadhan. Dan begitulah pendapat jumhur fuqaha’. Lihat Zaadul-Ma’ad, 2/47;
Ensiklopedi Hukum Wanita dan Keluarga, 2/158-160
[8] Shahih Al-Bukhari, no. 1906, Shahih Muslim, Kitab Ash-Shiyam, no.
3.
[9] Shahih Al-Bukhari, no. 1907, Shahih Muslim, Kitab ash-Shiyam, no.
6.
[10] Ensiklopedi Hukum Wanita dan Keluarga,
2/180
[11] Syarh Shahih Muslim, 7/190.
[12] Al-Fatawa Al-Kubro, 2/464.
[13] Shahih Bukhari, no. 1913, Shahih Muslim,
Kitab Ash-Shiyam, no. 15.
[14] Sunan Abu Daud, no. 2326; Sunan An-Nasai,
no. 2128, dan dinyatakan shahih oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’
Ash-Shagir, no. 7394.
[15] Al-Fatawa Al-Kubro, 2/464.
[16] Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab, 6/274-275.
[17] Shahih Muslim, hadits no.
1087, Sunan Abu Daud, no. 2332, Sunan
At-Tirmidzi, no. 693.
[18] Tafsir Al-Qurthubi, 2/295-296.
[19] Ad-Dien Khalish, 8/347-350, Fiqhul Ibadat, hal. 212, Minhajul
Muslim, hal. 307-308.
[20] Al Mughni, 3/155.
[21] Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab, 6/250.
[22] Al Mughni, 3/156.
[23] Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab, 6/251.
[24] Al Mughni, 3/142.
[25] Shahih Muslim, kitab Al-Haidh, hadits no. 69; Sunan Abu Daud, hadits no. 263.
[26] Al Mughni, 3/137,138.
[27] Minhajul Muslim, hal 308, Ad-Dien Khalish, 8/440-451, Fiqhul
Ibadat, hal 232-235.
[28] Majmu’ Fatawa,25/215.
[29] Al Mughni, 3/91, Ad-Dien Khalish, 8/344.
[30] ٍSunan
An-Nasai, hadits no. 2335, Sunan At-Tirmidzi, hadits no 730, Sunan Abu Daud,
hadits no. 2454, dan dinyatakan shahih oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih
Al-Jami’ Ash-Shagir, hadits no. 6538.
[31] Ensiklopedi Hukum Wanita dan Keluarga,
2/200.
[32] Al-Mughni, 3/93.
[34] Minhajul Muslim, hal. 310-311.
[35] Shahih Al-Bukhari, hadits no. 1987, Shahih Muslim, hadits no. 1098.
[36] HR. Ahmad, Abu Daud, dan At-Tirmidzi, hadits ini dinyatakan hasan
oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’ Ash-Shaghir, hadits no. 4995.
[37] Sunan Abu Daud, hadits no. 2357, dan dinyatakan hasan oleh Syaikh
Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’ Ash-Shaghir, hadits no. 4678.
[38] Shahih Al-Bukhari, hadits no. 1923, Shahih Muslim, hadits no. 1095.
[39] Riwayat Imam Thabrani, dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam
Shahih Al-Jami’ Ash-Shaghir, hadits no. 3989.
[40] Minhajul Muslim, hal 311-312.
[41] Ad-Dien Khalish, 8/477-483, Minhajul Muslim, hal 312-313, Fiqhul
Ibadat, hal 246-249.
[42] Minhajul Muslim, hal 313.
[43] Shahih Al-Bukhari, hadits no. 1936, Shahih Muslim, hadits no. 1111.
[44] Shahih Muslim, Kitab Ash-Shiyam, hadits no. 84.
[45] Minhajul Muslim, hal 314, Ad-Dien Al-Khalish, 8/454-459.
[46] Minhajul Muslim, hal. 314-315.
[47] HR. Al-Bukhari, dan Muslim, lihat Al-Lu’lu’ wa Al-Marjan, hadits no.
710.
[48] HR. Al-Baihaqi, hadits ini dinyatakan hasan oleh Syaikh Al-Albani
dalm Shahih Al-Jami’ ash-Shaghir, hadits no. 6070.
[49] Minhajul Muslim, hal. 305-306.
[50] HR. Ahmad, dan At-Tirmidzi, hadits ini shahih menurut Syaikh
Al-Albani dalam Shahih Al-jami’ ash-Shaghir, hadits no. 6415.
[51] HR. Al-Bukhari dan Muslim, lihat
Al-Lu’lu’ wa Al-Marjan, no. 435.
[52] HR.Imam Ajmad, At-Thabrani, Al Hakim, Al
Baihaqi, shahih menurut Syaikh al-Albani dalam Shahih al-Jami’ Ash-Shaghir, no.
3882.
[53] HR.Al-Bukhari dan Muslim,lihat Al-Lu’lu’
wa Al-Marjan, no. 727.
[54] Shahih
Al-Bukhari, no. 1863, Shahih Muslim, Kitab Al-Hajj, no. 222.
[56] Lihat shahih Bukhari, no. 4505, Tafsir Ath-Thabari, 2/79.
[57] Al-Mughni, 3/141.
[58] Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab, 6/255-256.
[60] Fatawa Al-Lajnah Ad-Da’imah lil Buhuts
Al-‘Ilmiyyah wa Al-Ifta’, 10/233, 236.
[61] Lihat ukuran farsakh dalam Fiqhul Islami
Waadilatuhu, 1 : 75
[62] Lihat Majmu’ Fatawa, 25/209-214.
[63] Al-Mughni, 3/139, Fatawa Al-Lajnah
Ad-Da’imah lil Buhuts Al-‘Ilmiyyah wa Al-Ifta’,10/220,161.
[64] Al-Mughni, 3/139, Majmu’ Fatawa,25/218.
[65] Puasa Bersama Nabi, hal 163
[66] Lihat ukuran mud dalam Fiqhul Islami
Waadilatuhu, 1/75
[68] Shahih Sunan Ibnu Majah, 2/64-65.
[69]
Al-Qamus Al-Muhith, 1/307
[71] Subulus
Salam, 2/10
[77] Al Majmu’ Syarhul
Muhadzzab, 4/ 38, Al Mughni 2/ 604.
[78] ( Al Asilah wal Ajwibah
Al Fiqhiyah, 2/186, Mawardlu Adz Dham’an,
1/406-412 ).
[80] Nailul Authar, 3/ 64 .
[81] HR. Bukhari, Muslim, Ahmad, Abu Daud .
[82] HR. Muslim, At-Tirmidzi, An-Nasa’i, Ibnu
Majjah.
[84] HR. Al-Bukhari Muslim.
[86] Al Mugni, 1/ 605, Al-Asilah wa Al-Ajwibah
Al Fiqhiyah, 2/174.
[87] Al-Asilah wa Al-Ajwibah Al Fiqhiyah, 2/174
.
[88] Nailul Authar, 3/ 60, Fatwa Lajnah Daimah,
7/201-203 .
Tidak ada komentar:
Posting Komentar