Rabu, 24 Oktober 2012

FIKIH SHOUM


FIQIH  SHOUM

A.    Definisi Shaum

a.       Secara bahasa, shaum artinya menahan diri dari sesuatu.
b.      Secara syar’i, shaum adalah menahan diri dari hal-hal yang membatalkannya, seperti makan, minum dan melakukan hubungan suami isteri, dengan disertai niat, mulai terbitnya fajar shadiq sampai terbenamnya matahari.[1]


B.     Dalil Disyari’atkannya Shaum Ramadhan

            Firman Allah :

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ. أَيَّامًا مَّعْدُودَات
            “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu shiyam sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa. ( yaitu ) dalam beberapa hari yang tertentu,” [2]

شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنزِلَ فِيهِ الْقُرْءَانُ هُدًى لِّلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ فَمَن شَهِدَ مِنكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
            “(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan- penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang batil). Karena itu barangsiapa diantara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia melaksanakan shaum pada bulan itu… “[3]
            Sabda Rasulullah :

بُنِيَ الإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ: شَهَادَةِ أَنْ لاَّ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ وَإِقَامِ الصَّلاَةِ وَإِيْتَاءَ الزَّكَاةِ وَالْحَجِّ وَصَوْمِ رَمَضَانَ.
            “Islam dibangun di atas lima perkara: “Bersaksi bahwasannya tiada ilah kecuali Allah dan Muhammad utusan Allah, menegakkan shalat, menunaikan zakat, berhaji ke baitullah, dan shaum Ramadhan.[4]
            Dari Thalhah bin Ubaidillah RA, ia berkata, “Bahwasannya ada seorang laki-laki dari negeri Najd yang datang kepada Nabi seraya bertanya tentang islam. Maka Nabi SAW menjawab, “Lima kali shalat sehari semalam.” Orang itu bertanya lagi, “Apakah ada yang lain ?” Nabi SAW menjawab, “Tidak, kecuali jika engkau mau melakukan yang sunnah.” Nabi SAW bersabda, “( Lalu ) shiyam di bulan ramadhan.” Orang itu bertanya lagi, “Apakah ada yang lainnya ?”Beliau menjawab, “Tidak kecuali jika engkau mau melakukan yang sunnah.” Kemudian Rasulullah SAW menyebut zakat, lalu orang itu bertanya lagi, “Apakah ada yang lainnya ?“ Nabi SAW   menjawab, “Tidak, kecuali jika engkau mau melakukan yang sunnah.” Lalu orang itu membalikkan tubuhnya seraya berkata, “Demi Allah, aku tidak akan menambah dan tidak akan mengurangi.” Kemudian Nabi SAW bersabda,“Orang itu akan beruntung jika dia benar.”[5]

C.      Penetapan Awal Dan Akhir Ramadhan

1.      Awal dan akhir bulan Ramadhan ditetapkan dengan ru’yah hilal (melihat bulan sabit), yaitu minimal dengan kesaksian paling sedikit satu orang muslim yang adil untuk awal Ramadhan, dan dua orang muslim untuk awal Syawal.[6]
2.      Apabila cuaca mendung dan hilal bulan Ramadhan tidak dapat dilihat pada malam 30 Sya’ban, maka hukum yang harus diambil ialah dengan menggenapkan bilangan bulan Sya’ban menjadi 30 hari, kemudian dipastikan untuk shaum pada hari berikutnya, yaitu awal bulan Ramadhan.
3.      Begitu pula ketika hilal bulan Syawal tidak terlihat, maka hukum yang harus diambil ialah dengan menyempurnakan bilangan Ramadhan menjadi 30 hari, kemudian hari berikutnya dipastikan sebagai hari raya, yaitu sebagai awal bulan Syawal.[7]
            Rasulullah SAW bersabda :
لاَ تَصُوْمُوا حَتَّى تَرَوْا الِهلاَلَ وَلاَ تُفْطِرُوا حَتَّى تَرَوْهُ فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوْلَهُ.
      “Janganlah klian  melakukan shaum sampai kalian melihat hilal, dan jangan pula berbuka (mengakhiri shaum Ramadhan) sampai kalian melihatnya. Dan jika ada yang menghalangi sehingga bulan tidak kelihatan oleh kalian, sempurnakanlah bilangannya (menjadi 30 hari)”.[8]

الشَّهْرُ تِسْعَ وَ عِشْرُوْنَ لَيْلَةً فَلاَ تَصُوْمُوا حَتَّى تَرَوْهُ فَإِنْ غَمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوْا العِدَّةَ ثَلاَثِيْنَ.
      “Satu bulan itu jumlahnya 29 malam, maka janganlah kamu melakukan shaum  sampai kalian melihatnya (hilal). Dan jika ada yang menghalangi sehingga bulan tidak kelihatan oleh kalian, sempurnakanlah bilangannya menjadi 30 hari.”[9]
4.      Adapun menetapkan awal Ramadhan dengan ilmu hisab di saat langit mendung, maka pendapat ini banyak dibantah oleh para ulama’. Para fuqaha’ telah menegaskan tentang dilarangnya bersandar pada perhitungan-perhitungan ilmu falak dalam menetapkan hilal, karena sesungguhnya syari’at Islam ini mengaitkan shaum dengan ru’yah bukan dengan hisab.[10]
      Jumhur fuqaha’ mengatakan, “Dan tidak betul jika yang dimaksud adalah hisab ahli perbintangan, sebab jika orang banyak dibebani dengan hal tersebut, tentulah akan memberatkan mereka, sebab masalah hisab perbintangan tidak ada yang mengetahuinya kecuali hanya beberapa orang saja, sedang syari’at dapat dipahami orang apabila kebanyakan mereka mengetahuinya. Wallahu a’lam.”[11]
      Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata, “Berdasarkan As-Sunnah Ash-Shahihah serta kesepakatan para shahabat Radhiyallahu ‘anhum, tidak diragukan bahwasannya tidak boleh bersandar kepada hisab perbintangan”.[12]
      Rasulullah bersabda :
إِنَّا أُمَّةٌ أُمِيّةٌ لاَ نَكْتُبُ وَلاَ نَحْسَبُ، الشَّهْرُ هَكَذَا وَهَكَذَا : يَعْنِي مَرَّةً تِسْعَةً وَعِشْرِيْنَ وَمَرَّةً ثَلاَثِيْنَ.
      “Sesungguhnya kami adalah umat yang ummi, tidak menulis dan tidak melakukan hisab. Bulan itu begini dan begini, yang terkadang 29 hari dan terkadang 30 hari.”[13]

لاَتَقَدَّمُوا الشَّهْرَ حَتَّى تَرَوُ الْهِلاَلَ قَبْلَهُ أَوْ تُكْمِلُوا الْعِدَّةَ، ثُمَّ صُوْمُوا حَتَّى تَرَوُ الْهِلاَلَ أَوْتُكْمِلُوا الْعِدَّةُ قَبْلَهٌ.
      “Janganlah kalian mendahului bulan sebelum kalian melihat hilal, atau sampai menyempurnakan bilangannya. Kemudian laksanakanlah shaum sampai kalian lihat hilal, atau menyempurnakan bilangan bulan sebelumnya.”[14]
      Dan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah juga mengatakan, “Orang yang bersandar kepada hisab dalam masalah hilal, sebagaimana bahwasa ia telah sesat di dalam syari’at, berlaku bid’ah di dalam dien, maka dia juga keliru terhadap akal dan ilmu hisab.”[15]
      Bagaimana halnya dengan kelompok yang menetapkan awal Ramadhan dan Syawal dengan hisab sementara langit cerah tanpa sepotong awanpun. Bahkan beberapa bulan sebelumnya mereka telah berani menetapkan awal bulan Ramadhan dengan menggunakan ilmu hisab, cara yang tidak pernah dipergunakan oleh Rasulullah SAW, para shahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in.

D.   Penetapan Shaum Ramadhan Berdasarkan Tempat Terbitnya Hilal

            Madzhab Syafi’i mengatakan, “Apabila hilal terlihat di suatu negeri sedangkan orang-orang di negeri lain tidak melihatnya, maka yang diputuskan adalah perkara berikut ini. Kalau kedua negeri itu berdekatan, maka hukumnya sama dengan satu negeri, dan penduduk negeri tersebut diwajibkan untuk melakukan shaum. Tetapi kalau negeri tersebut berjauhan, maka ada dua pendapat, yang paling shahih menyatakan bahwa shaum tidak diwajibkan atas penduduk negeri yang lain.[16]
            Kuraib (hamba sahaya dari shahabat Ibnu Abbas RA) meriwayatkan, Bahwasannya Ummu Fadhl binti Al-Haris (ibunya Ibnu ‘Abbas RA) mengutus dia untuk menemui Khalifah Mu’awiyah RA di Syam. Maka Kuraib berkata, “Kemudian aku datang ke Syam untuk menyelesaikan segala keperluan Ummu Fadhl RA, dan terjadilah hilal Ramadhan, di Syam aku melihatnya pada malam Jum’at. Kemudian aku kembali ke Madinah pada akhir bulan Ramadhan, maka Abdullah bin ‘Abbas RA menanyakanku dan membicarakan masalah hilal, “Kapan kalian melihat hilal?” Maka aku katakan, “Kami melihat hilal malam Jum’at”,  kemudian ia bertanya, “Engkau melihatnya sendiri?” "Ya, dan semua orang melihatnya, mereka melaksanakan shaum, begitu juga Mu’awiyah RA.” Abdullah bin ‘Abbas RA berkata, “Tetapi kami melihatnya malam Sabtu, maka kami akan tetap shaum hingga kami menyempurnakannya menjadi 30 hari, atau sampai kami melihat hilal Syawal”. Aku bertanya, “Apakah tidak cukup dengan ru’yah dan shaum Khalifah Mu’awiyah RA?” Beliau menjawab, “Tidak, beginilah Rasulullah menyuruh kami.”[17]
            Menurut madzhab Maliki, hadits di atas merupakan hujjah bahwasannya apabila suatu negeri saling berjauhan sebagaimana Syam dan Hijaz, maka setiap penduduk dari masing-masing negeri tersebut wajib melaksanakan hasil ru’yah negerinya bukan ru’yah negeri orang lain, walaupun ru'yah telah menjadi keputusan Khalifah, selama Khalifah tidak mewajibkan kepada rakyatnya. Apabila dia mewajibkannya, maka siapapun tidak boleh menyelisihi perintahnya.”[18]

E. Syarat Wajib / Sah Shaum[19]

1.      Islam.
Apabila  ada orang kafir yang masuk Islam di pertengahan Ramadhan, maka dia tidak wajib mengqadha’ shaum yang telah berlalu, karena shaum pada hari-hari yang lalu belum menjadi kewajibannya, sehingga tidak wajib mengqadha’nya. Demikian menurut madzhab Hambali, Syafi’i, Hanafi, Maliki, Al-Auza’i, Abu Tsaur dan Qatadah. Dia cukup melaksanakan shaum pada hari-hari selanjutnya setelah ia memeluk Islam.[20]
2.      Baligh.
Jika anak kecil (laki-laki atau perempuan) telah mampu melaksanakan shaum, maka seorang wali berkewajiban untuk menyuruh mereka melaksanakan shaum yaitu bila mereka telah mencapai usia 7 tahun, dan memukulnya apabila meninggalkan shaum ketika telah berusia 10 tahun.[21]
3.      Berakal.
Shaum Ramadhan tidak diwajibkan atas orang gila. Dan jika telah sembuh, dia cukup shaum pada hari-hari yang masih tersisa di bulan Ramadhan, dan tidak wajib mengqadha’ shaum yang ditinggalkannya di saat dia gila. Demikian pendapat Abu Tsaur, As-Syafi’i, dan Imam Ahmad.[22]
Berbeda dengan orang yang kehilangan akalnya karena pingsan kemudian dia siuman, maka dia wajib mengqadha’ shaum yang telah dia tinggalkan, karena pingsan termasuk salah satu penyakit, bukan gila.[23]
4.      Mukim (tidak dalam keadaan safar).
5.      Sanggup untuk melaksanakannya, di antaranya, sehat jasmani.
6.      Suci dari haidh dan nifas.
Menurut ijma’ (kesepakatan) ulama, wanita yang sedang haidh dan nifas tidak diperbolehkan untuk melaksanakan shaum. Mereka wajib berbuka dan mengqadha’ shaum yang telah ditinggalkannya, jika telah suci dari haidh atau nifasnya.
Jika haidh dan nifasnya terjadi pada sebagian siang, maka shaum pada hari itu batal, baik haidh atau nifasnya itu terjadi di awal atau akhir siang. Jika wanita yang sedang haidh atau nifas berniat shaum dan menahan diri dari hal-hal yang membatalkan shaum, padahal dia mengetahui bahwa shaum diharamkan untuknya, maka dia berdosa dan shaumnya tersebut tidak sah.[24]
Ummul Mukminin ‘Aisyah RA berkata:
كُنَّا نُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّوْمِ وَلاَ نُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّلاَةِ.
      "Kami diperintahkan untuk mengqadha’ shaum dan tidak diperintahkan untuk mengqadha’ shalat.”[25]
      Kalau haidh seorang wanita terhenti pada malam hari kemudian dia mandi pada subuh di pagi harinya, maka hukumnya sama dengan hukum orang yang junub. Orang yang junub diperbolehkan untuk mengakhirkan mandinya hingga subuh kemudian dia mandi dan menyempurnakan shaumnya, sebagaimana dikatakan oleh umumnya para ulama’. Namun dengan syarat haidh tersebut telah berhenti sebelum fajar, karena apabila dia haidh pada sebagian siang hari, maka shaumnya batal. Selain itu, disyaratkan juga agar dia berniat untuk shaum di malam hari setelah haidhnya terhenti, karena shaum seseorang tidak dianggap sah kecuali jika dia berniat pada malam harinya.[26]

F.     Rukun-Rukun Shaum[27]

1.      Niat.
            Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata, “Setiap orang yang tahu bahwa besok hari telah masuk bulan Ramadhan, kemudian dia ingin melaksanakan shaum di bulan itu, maka dia telah berniat shaum, baik dilafalkan atau tidak. Dan hal ini merupakan amaliyah yang umumnya dilakukan kaum muslimin, mereka semua meniatkan shaumnya.[28]
            Waktunya adalah pada bagian malam manapun di bulan tersebut hingga terbit fajar shadiq. Demikian menurut madzhab Hambali, Syafi’i, Maliki dan lainnya.[29]
            Rasulullah SAW bersabda :
            “Barangsiapa yang tidak meniatkan shaum sebelum fajar, maka tidak ada shaum baginya.”[30]
            Adapun setelah berniat lalu ia melakukan sesuatu yang dapat membatalkan shaum, seperti makan, minum, atau mencampuri isterinya, atau tidak melakukan semua itu sebelum terbit fajar shadiq, maka tidak mengapa.[31]
            Menurut madzhab Hambali, Hanafi, Syafi’i dan Ibnul Mundzir, niat wajib dilaksanakan setiap hari di bulan Ramadhan. Berbeda dengan pendapat Imam Ahmad yang mengatakan, bahwa satu kali niat sudah dianggap sah untuk menjalankan shaum selama sebulan, apabila diniatkan untuk shaum selama satu bulan. Dan demikian juga menurut madzhab Maliki dan Ishaq.[32]
2.      Imsak (menahan diri) dari hal-hal yang membatalkan shaum.
3.      Dilakukan pada siang hari.
Allah SWT berfirman :

وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ اْلأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ اْلأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى الَّيْلِ
            “Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah shaum sampai malam hari.” [33]

G.    Sunnah-Sunnah Shaum[34]

1.      Bersegera berbuka.
Rasulullah SAW bersabda :
لاَيَزَالُ النَّاسُ بِخَيْرٍ مَا عَجِلُوا الْفِطْرَ
            “Manusia tetap akan berada dalam kebaikan selama mereka menyegerakan berbuka.”[35]
2.      Berbuka dengan kurma atau air. Dan yang lebih utama adalah dengan kurma.
            Diriwayatkan dari Anas bin Malik RA, dia berkata:

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُفْطِرُ عَلَى رُطَبَاتٍ قَبْلَ أَنْ يُصَلِّيَ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ رُطَبَاتٌ فَعَلَى تَمَرَاتٍ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ حَسَا حَسَوَاتٍ مِنْ مَاءٍ
             “Rasulullah berbuka dengan beberapa ruthab (biji kurma basah) sebelum menunaikan shalat. Jika tidak ada, maka dengan beberapa tamr (biji kurma kering). Dan jika tidak ada, maka beliau minum beberapa teguk air.”[36]
3.      Berdo’a ketika akan berbuka.
            Adapun do’a yang dibaca Rasulullah SAW ketika akan berbuka adalah :

            “Telah hilang dahaga, telah basah kerongkongan, dan telah tetap pahalanya, Insya Allah.”[37]
4.      Sahur, yaitu makan dan minum diakhir malam dengan niat shaum.

            Rasulullah SAW bersabda :
            “Bersahurlah, sesungguhnya di dalam sahur itu terdapat barokah.”[38]
5.      Mengakhirkan sahur hingga bagian akhir malam, yaitu sebelum terbitnya fajar shadiq (shubuh).
            Rasulullah SAW bersabda :
            “Segerakanlah berbuka dan akhirkanlah sahur.”[39]

H.    Hal-Hal Yang Dimakruhkan Ketika Shaum[40]

            Adapun beberapa perkara yang dimakruhkan atas orang yang shaum, yang dikhawatirkan akan merusak shaumnya, walaupun sebenarnya tidak merusak shaum.
1. Berlebih-lebihan ketika berkumur dan menghirup air ke hidung saat berwudhu’.
2. Mencium (istri/suami), sebab terkadang dapat membangkitkan syahwat sehingga shaumnya rusak, baik karena keluar mani, atau kemudian ia meneruskannya dengan berjima’ (menggauli isterinya).
3. Terus menerus memandang istri dengan syahwat.
4. Berfikir urusan jima’.
5. Bercumbu dengan isteri.
6. Mencicipi masakan atau makanan.
7. Berkumur-kumur bukan karena wudhu’, atau kepentingan lainnya yang dianggap perlu.
8. Bercelak di awal siang.
9. Berbekam, apabila khawatir menjadikan dirinya lemah dan membuat ia berbuka.

I.    Hal-Hal Yang Membatalkan Shaum Dan Wajib Atasnya Qadha’[41]

1.      Memasukan cairan ke dalam kerongkongan, baik lewat hidung atau telinga, seperti memasukkan obat lewat hidung, atau dubur dan qubul (kemaluan) wanita, atau meneteskan ke dalam telinga.
2.      Dan menurut madzhab Maliki bahwa cairan yang masuk ke dalam kerongkongan melalui mata, dapat merusak shaum, baik sengaja maupun lupa.
3.      Air yang masuk ke dalam kerongkongan karena terlalu dalam ketika berkumur dan menghirup air ke hidung saat bewudhu’.
4.      Keluar air mani karena terus menerus memandang atau berpikir (jima’), atau mencium, atau bercumbu, atau sebab lainnya. Adapun keluar mani karena bermimpi, maka tidak membatalkan shaum.
5.      Muntah dengan sengaja. Adapun muntah dengan tidak sengaja, maka tidak membatalkan shaum.
6.      Makan, minum, dan berjima’.
7.      Makan, minum, atau berjima’, sedangkan ia mengira kalau keadaan masih malam (belum terbit fajar), dan ternyata fajar telah terbit.
8.      Makan atau minum, karena  ia menyangka kalau malam telah masuk (datang waktu maghrib) dan ternyata masih siang.
9.      Makan atau minum karena lupa, kemudian membatalkan shaumnya, karena menyangka bahwasannya tidak wajib untuk kembali meneruskan shaumnya.
10.  Berbuka dalam keadaan ragu, apakah matahari telah terbenam atau belum, dan belum jelas baginya.
11.  Betul-betul berniat untuk berbuka (mbongkah : jawa) sebelum datang waktu maghrib.
12.  Sengaja memasukkan sesuatu yang tidak memberikan faedah bagi badan ke dalam kerongkongan lewat mulut, seperti menelan batu, mutiara, benang, atau besi.
13.  Sengaja memasukkan air ke dalam dubur ketika istinja’.
14.  Memasukkan potongan kain, atau kayu, atau jari yang basah ke dalam dubur maupun qubul wanita, apabila masuk seluruhnya, dan kalau masuk sebagiannya saja, maka tidak merusak shaum.
15.  Murtad (keluar dari Islam).

J.            Hal-Hal Yang Membatalkan Shaum Dan Wajib Atasnya Qadha’ Dan Kafaroh[42]


1. Berjima’ ( bersenggama ) dengan sengaja tanpa dipaksa.
Dari Abu Hurairah RA dia berkata: Ketika kami duduk di sisi Rasulullah SAW tiba-tiba datang laki-laki kepada Nabi SAW seraya berkata, “Celaka saya ya Rasulullah”. “Kenapa kamu celaka ?”, Tanya beliau. Laki-laki itu menjawab, “Saya telah bersetubuh dengan isteri saya pada siang hari Ramadhan.” Rasulullah SAW bertanya, “Sanggupkah kamu memerdekakan seorang budak ?”. “Tidak “,jawab laki-laki itu. “Kuatkah kamu shaum dua bulan berturut-turut ?”, Tanya Rasulullah SAW pula. “Tidak”, jawabnya. “Sanggupkah kamu memberi makan kepada 60 orang miskin ?”, Tanya beliau. Dan laki–laki itu pun tetap menjawab, "Tdak”. Kemudian ia duduk, maka datanglah Nabi SAW dengan membawa  sebakul kurma seraya berkata : “Sedekahkanlah kurma ini”, kata Nabi SAW. “Apakah kepada orang yang lebih fakir dari kami ya Rasulullah, padahal tidak ada satu warga pun di kampung kami yang lebih miskin daripada kami”, kata laki-laki itu menerangkan. Dan Nabi SAW pun tersenyum sampai kelihatan gigi gerahamnya, lalu beliau katakan : “Pulanglah, berikan kurma ini kepada keluargamu.”[43]
2.      Makan dan minum dengan sengaja tanpa adanya udzur yang membolehkan dia berbuka.
           
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ النَّبِيَّ أَمَرَ رَجُلاً أَفْطَرَ فِي رَمَضَانَ أَنْ يَّعْتِقَ رَقَبَةً أَوْ يَصُوْمَ شَهْرَيْنَ أَوْ يُطْعِمَ سِتِّيْنَ مِسْكِيْنًا
            Dari Abu Hurairah RA bahwasannya Nabi SAW  menyuruh seorang laki-laki yang sengaja berbuka pada bulan Ramadhan, agar membebaskan budak, atau shaum selama dua bulan, atau memberi makan 60 orang miskin.[44]

K.  Hal-Hal Yang Diperbolehkan Bagi Orang Yang Shaum[45]

1.      Bersiwak (menggosok gigi) di sepanjang waktu siang, kecuali menurut Imam Ahmad, bahwasannya makruh bersiwak setelah matahari tergelincir.
2.      Mendinginkan tubuh dengan air karena cuaca sangat panas, baik dengan diguyur air atau berendam di dalamnya.
3.      Makan, minum dan melakukan hubungan suami isteri di malam hari sebelum terbit fajar.
4.      Melakukan safar (perjalanan) karena keperluan yang diperbolehkan (bukan maksiyat), meskipun dia tahu kalau safarnya itu dapat mengakibatkan dirinya berbuka.
5.      Berobat dengan obat apapun selama halal, yang tidak menyebabkannya masuk ke dalam kerongkongan walau pun sedikit, di antara (yang dibolehkan) adalah dengan jarum suntik selama itu bukan infus.
6.      Mengunyah makanan untuk anak kecil karena tidak ada orang lain yang mengunyahkannya, dengan syarat tidak sedikit pun yang masuk ke dalam kerongkongan.
7.      Menggunakan parfum, atau harum-haruman yang sifatnya dibakar dahulu.
8.      Memakai minyak wangi, baik yang dioleskan ke badan, ataupun minyak rambut.
9.      Berbekam, apabila tidak khawatir menjadikan badannya lemah.

L.     Hal-Hal Yang Dimaafkan Bagi Orang Yang Shaum[46]

1.      Menelan ludah sendiri, walaupun banyak.
2.      Lalat yang tertelan tanpa ia kehendaki.
3.      Asap jalanan dan pabrik, asap kayu dan seluruh asap yang tidak mungkin dihindari.
4.      Dalam keadaan junub di waktu subuh (setelah melakukan jima’ sebelum terbit fajar namun belum mandi setelah datang waktu subuh).
5.      Mimpi junub di siang hari.
6.      Makan dan minum karena lupa atau tidak sengaja, lalu melanjutkan shaumnya.
            Rasulullah bersabda:
            “Apabila seseorang lupa lalu makan dan minum, hendaklah ia sempurnakan shaumnya, tidak lain karena Allah memberinya makan”.[47]
            “Barangsiapa yang berbuka (makan atau minum) pada bulan Ramadhan karena lupa maka tidak ada qadha’ dan kafarah atas dirinya”.[48]

M.         Beberapa Amalan Di Bulan Ramadhan[49]

1.      Shadaqah.
            Rasulullah SAW bersabda:

مَنْ فَطَّرَ صَائِمًا كَانَ لَهُ مِثْلَ أَجْرِهِ، غَيْرَ أَنَّهُ لاَيَنْقُصُ مِنْ أَجْرِ الصَّائِمِ شَيْئاً
            “Barangsiapa memberi makan untuk berbuka orang yang shaum, baginya pahala orang yang shaum tersebut tanpa dikurangi sedikit pun dari pahalanya”.[50]
2.      Qiyamul lail.
            Rasulullah SAW bersabda :
            “Barangsiapa yang melaksanakan qiyamul lail pada bulan Ramadhan dengan penuh keimanan dan penuh mengharap ridha Allah, diampuni baginya dosa-dosanya yang lalu”.[51]
3.      Tilawah (membaca) Al-Qur’an
            Rasulullah SAW  bersabda :

الصِّيَامُ وَ اْلقُرْآنُ يَشّفَعَانِ لِلْعبْدِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، يَقُوْلُ الصِّيَامُ: أَيْ رَبِّ إِنِّي مَنَعْتُه الطَّعَامَ وَ الشَّهَوَاتَ بِالنَّهَارِ فَشَفِعْنِيْ فِيْهِ، يَقُوْلُ القُرْآنَ: رَبِّ مَنَعْتُهُ النَّوْمَ بِاللَّيْلِ فَشَفِعْنِيْ فِيْهِ، فَيَشْفَعَانِ
            “Shiyam dan bacaan Qur’an dapat memberi syafa’at kepada seseorang (yang melakukan dan membacanya)  pada hari kiamat. Shiyam mengatakan: “Ya Rabb, aku telah mencegahnya dari makan dan minum di siang hari.” Sedangkan bacaan Qur’annya berkata: “Aku telah melarangnya dari tidur di malam hari. Maka dari itu berikanlah dia syafa’at karena kami”. [52]
4.      I’tikaf, yaitu berdiam diri di dalam masjid untuk beribadah mendekatkan diri kepada Allah sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan.
            ‘Abdullah bin ‘Umar berkata:
كَانَ رَسُوْلُ الله يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ الأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ
            "Adalah Rasulullah melaksanakan I’tikaf pada sepuluh hari terakhir Ramadhan.”[53]
5.      Melakukan ‘umrah, yaitu menziarahi Baitullah Al-Haram untuk melakukan thawaf sa’i.
            Rasulullah SAW bersabda:
            “Sesungguhnya ‘umrah pada bulan Ramadhan, dapat mencapai (pahala) haji, atau melaksanakan haji bersamaku”.[54]            

N.          Mereka Yang Mendapat Rukhshah (Keringanan) Untuk Tidak Shaum

1.      Laki-laki dan wanita yang tua renta.
            Allah SWT berfirman:

وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةُ طَعَامُ مِسْكِينٍ
            “…dan wajib bagi orang yang berat menjalankannya (tidak shaum) untuk membayar fidyah, yaitu memberi makan seorang miskin…” [55]
            Ibnu ‘Abbas RA  berkata, “Ayat ini merupakan rukhshah (keringanan) bagi laki-laki atau wanita tua renta yang apabila tidak sanggup menjalankan shaum, diperbolehkan bagi mereka untuk berbuka dan setiap harinya memberi makan seorang miskin sebagai ganti satu hari shaumnya”.[56]
2.      Orang sakit.
            Orang sakit yang tidak dapat diharapkan kesembuhannya, diperbolehkan untuk berbuka dan memberi makan seorang miskin untuk setiap hari sebagai fidyah shaum yang telah dia tinggalkan.[57]
            Namun jika masih bisa diharapankan kesembuhannya tapi jika dia shaum akan menyulitkannya atau sakitnya bertambah parah dan lebih lama sembuhnya, atau kalau shaum dia akan bertambah sakit, atau tidak dapat meminum obat yang dapat membantu penyembuhannya, maka untuk kasus-kasus semacam ini dia diperbolehkan untuk berbuka, dan dia wajib mengqadha’ shaum yang dia tinggalkan, apabila telah sembuh.[58]
            Allah SAW berfirman: 
وَمَن كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ أَيَّامٍ أُخَرَ
            “…dan barangsiapa yang sakit atau dalam perjalanan ( lalu dia berbuka ), maka ( wajiblah baginya shaum ) sebanyak hari yang ditinggalkannya itu pada hari-hari yang lain… [59]
3. Pekerja berat.
                  Seorang pekerja jika dihadapkan pada pekerjaan berat yang ia khawatir bila melakukan shaum akan membahayakan dirinya, maka dia diperbolehkan berbuka dan mengqadha’ shaumnya, apabila dengan meninggalkan pekerjaan beratnya itu dapat membahayakan dirinya. Namun jika tidak membahayakan dirinya, maka dia berdosa apabila berbuka.[60]
4.      Musafir
                  Orang yang sedang safar dan menempuh jarak yang memperbolehkannya shalat qashar, maka diperbolehkan untuk berbuka pada bulan Ramadhan, sesuai kesepakatan para ‘ulama, baik dia mampu untuk melakukan shaum ataupun tidak, dan baik shaumnya itu memberatkan dirinya maupun tidak.
                  Adapun jarak yang memperbolehkan seseorang untuk mengqashar shalatnya dan berbuka, menurut madzhab Maliki, Syafi’i dan Ahmad adalah perjalanan yang ditempuh dengan unta atau berjalan kaki selama dua hari, misalnya perjalanan antara Makkah dan Jeddah, atau perjalanan yang berjarak 16 farsakh, yaitu sekitar 48 mil ( 88,7 Km).[61] Dan menurut Imam Abu Hanifah adalah perjalanan yang ditempuh selama tiga hari.
                  Para ulama’ salaf dan khalaf lainnya mengatakan, “Bahkan dia diperbolehkan untuk mengqashar dan berbuka dalam perjalanan yang ditempuh kurang dari dua hari.” Inilah pendapat yang kuat menurut Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, selama safarnya itu bukan untuk maksiyat.[62]
5.      Wanita hamil dan menyusui.
                  Apabila wanita hamil dan menyusui khawatir akan keselamatan jiwa mereka, atau beserta anak-anak mereka sendiri, maka diperbolehkan bagi mereka untuk berbuka. Namun wajib untuk mengqadha’ shaum yang ditinggalkannya dan tidak diwajibkan membayar fidyah, seperti halnya orang sakit yang diperbolehkan berbuka.[63]
                  Dan jika mereka hanya mengkhawatirkan keselamatan anak-anaknya saja, bukan keselamatan jiwa mereka sendiri, maka diperbolehkan berbuka, dan diwajibkan untuk mengqadha’ shaum yang ditinggalkannya, ditambah dengan membayar fidyah shaum yang ditinggalkannya, karena sebenarnya mereka mampu untuk melaksanakan shaum.[64]
                  Namun Ibnu Abbas RA dan Ibnu Umar RA berpendapat bahwa wanita hamil dan menyusui jika meninggalkan shaum cukup baginya untuk membayar fidyah, tidak perlu untuk mengqadha shaum yang ditinggalkannya.  
                  Dari Imam Malik, dari Nafi', bahwa Ibnu 'Umar RA ditanya tentang wanita hamil bila khawatir terhadap (kesehatan) anaknya. Dia menjawab, "Dia berbuka dan memberi makan kepada satu orang miskin setiap hari sebanyak satu mud gandum." Dan Ad-Daroquthni meriwayatkan (1/207) dari Ibnu Umar RA dan dia menshahihkannya, ia berkata, "Wanita hamil dan menyusui boleh berbuka dan tidak wajib mengqhada.' Dan dia meriwayatkan dari jalur yang lain, "Bahwasanya istrinya bertanya kepadanya disaat dia sedang hamil, ia berkata, "Berbukalah dan berilah makan kepada seorang miskin setiap hari dan dia tidak wajib mengqhada." Dan isnadnya jayyid (baik). Dan dari jalur ketiga, darinya, "Sesungguhnya anak perempuannya dinikahi oleh seseorang dari kaum Quraisy, dan dia sedang mengandung. Lalu dia merasa kehausan di bulan Ramadhan. Maka dia menyuruhnya berbuka, dan memberi makan satu orang miskin setiap hari."[65]
                  Sedangkan ukuran fidyah adalah satu mud gandum, yang sepadan dengan ¼ sha’ atau 675 gram bahan makanan lain.[66]
                  Allah berfirman:
                  “…dan wajib bagi orang yang berat menjalankannya ( tidak shaum ) untuk membayar fidyah, yaitu memberi makan seorang miskin…” [67]

إِنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ وَضَعَ عَنِ الْمُسَافِرِ شَطْرَ الصَّلاَةِ، وَعَنِ الْمُسَافِرِ وَالْحَامِلِ وَالْمُرْضِعِ الصَّوْمَ أَوِالصِّيَامَ
                  “Sesungguhnya Allah ‘Azza wa jalla telah membebaskan separuh shalat bagi musafir, dan juga membebaskan shaum dari seorang musafir, wanita yang hamil dan wanita yang menyusui.”[68]

 

SHALAT   TARAWIH


Sebab Penamaan

Kata tarawih adalah bentuk jama’ dari dari kata “tarwihah” yang artinya istirahat pada tiap-tiap empat roka’at.[69] Kemudian tiap empat roka’at dari shalat malam disebut juga dengan istilah tarawih. Hal ini didasarkan pada riwayat Imam Al Baihaqi dari Aisyah Radhiyallahu’anha, beliau berkata:
“Rasulullah shalat malam empat rakaat lalu istirahat lama sekali sehingga saya merasa iba kepada beliau.”[70]
Shalat Sunnah yang dikerjakan pada malam hari disebut qiyamullail atau shalat lail, shalat lail juga sering disebut dengan nama shalat tahajjud. Bila shalat lail/ qiyamullail/ tahajud dikerjakan di bulan Ramadhan, maka disebut shalat tarawih. Dinamakan shalat tarawih karena para salaf mengerjakan shalat malam tersebut dengan cara berhenti sejenak untuk beristirahat di tiap-tiap empat rakaat. [71]

Dalil Dan Keutamaannya

a.       Hadits dari Abu Hurairah ra
“Barang siapa yang mendirikan shalat malam di bulan Ramadhan karena iman dan mengharap pahala (dari Allah) niscaya diampuni dosa-dosanya yang telah lalu”. [72]

2. Hadits dari Abu Hurairah ra  
إِنَّ رَمَضَانَ شَهْرُ فَرَضَ اللهُ صِيَامَهُ وَإِنِّي سَنَنْتُ لِلْمُسْلِمِيْنَ قِيَامه فَمَنْ صَامَهُ وَقَامَهُ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا خَرَجَ مِنَ الذُّنُوْبِ كَيَوْمِ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ
Sesungguhnya Ramadhan adalah bulan yang diwajibkan Allah untuk shaum dan aku sunnahkan shalat pada malamnya. Maka barang siapa yang menjalankan shaum dan shalat pada malamnya karena iman dan mengharap pahala, niscaya ia bebas dari dosa-dosanya seperti saat ia dilahirkan oleh ibunya.” [73]
3. Hadits dari Abu Dzar ra
الرَّجُلُ إِذَا قَامَ مَعَ الإِمَامِ حَتَّى يَنْصَرِفَ كُتِبَ لَهُ قِيَامُ لَيْلِهِ
Sesungguhnya apabila seorang shalat (tarawih) bersama imam hingga selesai baginya dicatat melaksanakan shalat semalam suntuk.” [74]

Bilangan Rakaat

a.        Jumlah rakaat yang bisa dilaksanakan  oleh Rasulullah adalah 11 atau 13 rakaat, dihitung 11 rakaat jika tanpa shalat iftitah sebanyak dua rakaat. Berdasarkan riwayat dari Aisyah Radhiyallahu’anha beliau berkata:

مَا كَانَ رَسُوْلُ الله صَلَّى الله عَلَيْهِ وَ سَلَّم يَزِيْدُ فِيْ رَمَضَانَ وَلاَ غَيْرُهُ عَلَى إِحْدَى عَشَرَ رَكَعَة
Tidaklah Rasulullah Shalallahu alaihi wasallam shalat malam di bulan Ramadhan maupun  di luar Ramadhan lebih dari 11 rakaat”. [75] 
Dari Aisyah ra beliau berkata:

كاَنَ النَّبِيُ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ يُصَلِّيَ مِنَ اللَّيْلِ ثَلاَثَ عَشَرَةَ رَكْعَةً مِنْهَا رَكْعَتَا الْفَجْرِ
Nabi Shalallahu’alaihi wasalllam shalat malam di bulan Ramadhan sebanyak 13 rakaat sudah termasuk witir dan dua rakaat shalat sunnah fajar.” [76]
b.      Namun boleh juga shalat tarawih lebih dari sebelas rakaat. Demikianlah pendapat para Ulama’. Mereka beralasan dengan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Al Baihaqi.
Secara ringkas pendapat para ulama’ dalam masalah ini sebagai berikut:
·         20 rakaat tarawih belum termasuk witir, dengan lima kali tarwihat (Istirahat sejenak tiap empat rakaat), setiap dua rakaat salam. ini adalah pendapat Imam Asy-Syafi’i, Imam Ahmad, Imam Abu Hanifah, dan Imam Daud Adh Dhohiri. Al Qodli Iyadl meriwayatkan ini dari jumhur Ulama’.
·         40 rakaat tarawih, ditambah 7 rakaat witir. Ini adalah pendapat Imam Aswad Bin Yazid.
·         36 rakaat tarawih belum termasuk wiitir, dikerjakan dalam sembilan kali tarwihat, ini adalah pendapat Imam Malik. Dasarnya adalah shalat penduduk Madinah, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Nafi’ maula Ibnu Umar ra “Saya mendapati kaum muslimin di Madinah shalat tarawih 39 rakaat, yang tiga rakaat adalah witir. [77]
Bolehnya shalat tarawih lebih dari 11 rakaat menjadi pendapat jumhur Ulama’, sebagaimana yang tegaskan oleh para ulama’:
Syaikh Abdul Aziz Muhammad Salman menyatakan: “Diriwayatkan dari Ibnu Abbas ra bahwa shalat tarawih adalah 20 rakaat secara berjama’ah. Ini juga menjadi pendapat Imam Malik. Imam Ibnu Abdil Barr memilih pendapat ini, namun beliau mengatakan riwayat dari Imam Malik adalah 11 rakaat”.
 Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menyatakan “… boleh shalat 20 rakaat dengan berjama’ah sebagiamana pendapat yang masyhur dalam madzhab Syafi’i dan Ahmad. Boleh juga shalat 36 rakaat sebagaimana pendapat Imam Malik dan ia juga oleh shalat 11 dan 13 rakaat, semuanya baik, banyak dan sedikitnya rakaat tergantung panjang dan pendeknya berdiri (lama tidaknya shalat).
Dia juga mengatakan “Yang lebih utama adalah berbeda dengan keadaan makmum, kalau mereka sanggup berdiri lama, maka yang lebih utama adalah 10 rakaat, tarawih dan 3 witir, sebagaimana yang dikerjakan oleh Rasulullah saw saat shalat sendirian di bulan Ramadhan dan bulan-bulan lainnya. Kalau makmum tidak kuat, maka yang lebih utama adalah 20 rakaat dan ini merupakan pendapat sebagian besar (ulama’) kaum Muslimin, sebagai pertengahan antara 10 dan 40 (11 dan 36), shalat 40 rakaat atau lebih juga boleh dan tidak dilaksanakn. Barang siapa yang mengira bahwa jumlah rakaatnya sudah ditentukan sehingga tidak boleh lebih atau kurang, berarti dia telah berbuat salah. Karena seseorang kadang-kadang rajin sehingga yang lebih utama adalah memanjangkan ibadah, namun kadang-kadang juga malas sehingga yang lebih utama adalah meringankannya”. [78]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan: “Nabi Shalallahu’alaihi wasallam shalat malam di bulan Ramadhan dan bulan-bulan yang lainnya sebanyak 11 atau 13 rakaat, tetapi shalat beliau sangat panjang (lama). Ketika kaum muslimin merasa berat, pada masa Umar Ibnu Khathab ra, Ubay bin Ka’ab ra mengimami mereka sebanyak 20 rakaat, kemudian shalat witir. Dia meringankan berdirinya sehingga jumlah rakaat yang lebih banyak ini menjadi pengganti dari lamanya berdiri. Sebagaimana Salaf Ash Shalih shalat tarawih 40 rakaat dengan meringankan berdirinya, lalu witir 3 rakaat, sebagian Ulama’ salaf lainnya shalat 36 rakaat, kemudian shalat witir”. [79]
Setelah menerangkan pendapat Ulama’ Salaf dalam masalah jumlah rakaat tarawih Imam Asy Syaukani menyimpulkan: “Kesimpulan yang ditunjukkan oleh hadits-hadits dalam masalah ini dan hadits-hadits yang semisal adalah disyari’atkannya shalat malam pada bulan Ramadhan yang dikenal dengan nama tarawih, baik secara berjama’ah maupun sendiri-sendiri. Membatasi jumlah rakaat atau bacaan tertentu tidak ada dasarnya dari As Sunnah”. [80]

Waktu Shalat Tarawih

Para Ulama telah sepakat bahwa waktu shalat tarawih dan wiitir adalah  setelah selasainya shalat Isya’ sampai sebelum subuh. diriwayatkan dari Masruq, dari 'Aisyah ra berkata:

مِنْ كُلِّ اللَّيْلِ قَدْ أَوْتَرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ أَوَّلِ اللَّيْلِ وَأَوْسَطِهِ وَآخِرِهِ فَانْتَهَى وِتْرُهُ إِلَى السَّحَرِ
 Aisyah ra berkata, 'Tiap malam Rasulullah melakukan shalat witir di awal malam, di pertengahan malam atau akhir malam, dan witir beliau berakhir di waktu Sahur”. [81]
Dari Abi Sa'id Al-Khudri ra berkata, bahwa Nabi saw bersabda:
 Witirlah kalian sebelum shalat subuh”. [82]
Sedangkan mengenai waktu mana yang lebih utama (Afdal), sebagian Ulama’ menyatakan setelah shalat isya’ adalah lebih utama berdasarkan shalatnya Ubay bin Ka’ab di masa Umar ra, yang selanjutnya dilaksanakan oleh umat Islam sampai hari ini, namun pendapat yang lebih kuat – Wallahu’a’lam - adalah yang menyatakan bahwa yang afdal adalah melaksanakannya di akhir malam. Berdasarkan dalil:
  1. Firman Allah Ta’la:
Artinya: "Adalah mereka sedikit tidur malam. Dan di waktu-waktu sahur mereka beristighfar”. [83]
  1. Hadits:
Dari Abdulah bin Amru ra bahwa Rasulullah Shalallahu’laihi wasallam bersabda kepadanya:

أَحَبُّ الصَّلاَةِ إِلَى اللَّهِ صَلَاةُ دَاوُدَ عَلَيْهِ السَّلاَم وَأَحَبُّ الصِّيَامِ إِلَى اللَّهِ صِيَامُ دَاوُدَ وَكَانَ يَنَامُ نِصْفَ اللَّيْلِ وَيَقُومُ ثُلُثَهُ وَيَنَامُ سُدُسَهُ وَيَصُومُ يَوْمًا وَيُفْطِرُ يَوْمًا
“Shalat yang paling dicintai Allah ta’ala adalah shalatnya Nabi Daud Alaihisalam. Shaum yang paling dicintai oleh Allah adalah shaumnya Nabi  Daud. Beliau tidur setengah malam dan shalat sepertiganya, dan tidur lagi seper enamnya, beliau berpuasa sehari dan berbuka sehari”. [84]
Dari Abu Ishak, dari Al Aswad dia berkata, "Saya bertanya kepada Aisyah ra, bagaimana sifat shalat malam Rasulullah ? Dia  menjawab:

كَانَ يَنَامُ أَوَّلَهُ وَيَقُومُ آخِرَهُ فَيُصَلِّي ثُمَّ يَرْجِعُ إِلَى فِرَاشِهِ فَإِذَا أَذَّنَ الْمُؤَذِّنُ وَثَبَ فَإِنْ كَانَ بِهِ حَاجَةٌ اغْتَسَلَ وَإِلاَّ تَوَضَّأَ وَخَرَجَ
“Beliau tidur diawal malam dan bangun di akhir malam lalu shalat. Kemudian beliau kembali ke tempat tidur. Bila Muadzin mengumandangkan adzan beliau bangun, bila ada hajat beliau mandi, bila tidak ada hajat beliau segera berwudlu dan keluar ke masjid”.[85] 
Dan masih banyak lagi hadits-hadits yang menerangkan tentang keutamaan shalat pada akhir malam.

Berjama’ah Atau Sendirian ?

Dalam hal ini para Ulama’ berbeda pendapat:
c.       Yang lebih utama adalah berjama’ah
Ini adalah pendapat Imam Ahmad, Al Muzani, Ibnu Abdil Hakam, dan sebagian shahabat Abu Hanifah. Imam Ahmad berkata, “Shalat tarawih berjama’ah adalah lebih baik. Jika seseorang menjadi panutan lantas shalat tarawih sendirian di rumah, saya khawatir orang-orang akan ikut-ikutan shalat di rumah.” Dia juga mengatakan, “Shahabat Jabir, Ali dan Abu Hurairah ra juga shalat  tarawih berjama’ah”.
Imam Ath Thahawi dan Al Laits menyatakan, “Setiap orang yang mengutamakan shalat tarawih sendirian di rumah harus memastikan bahwa ketidak hadirannya di masjid tidak menyebabkan shalat tarawih berjama’ah  di masjid tidak terlaksana. Jika ketidak hadirannya menyebabkan shalat tarawih berjama’ah tidak terlaksana maka ia tidak boleh shalat sendirian”. [86]
Dalilnya adalah:
1.      Perbuatan para shahabat sejak masa Umar bin Khatab ra yang  melaksanakan shalat tarawih berjama’ah.
2.      Rasulullah saw pernah shalat tarawih 3 atau 4 malam. Beliau tidak meneruskannya karena takut kalau shalat tarawih dianggap wajib.
3.      Hadits Abu Dzar ra. (Lihat Hal.1 hadist No. 2).
Tentang hadits ini Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkomentar “dalam hadits ini ada anjuran untuk qiyam Ramadhan di belakang imam ( secara berjama’ah ), hal ini lebih dianjurkan dari shalat sunnah biasa, orang-orang shalat taraawih berjama’ah pada masa Rasululah saw dan beliau mengakuinya. Pengakuan beliau ini adalah Sunnah beliau”. [87]

d.      Shalat sendirian lebih baik
Imam Malik dan sebagaian Ulama Syafi’iyyah menyatakan, bagi orang yang kuat shalat tarawih sendirian maka itu lebih baik, dasarnya adalah hadits yang menyatakan sebaik-baik shalat sunnah adalah di rumah.
Imam An Nawawi menyatakan: “Para Ulama sepakat bahwa shalat tarawih itu sunnah. Namun mereka berbeda pendapat mana yang lebih utama, secara sendirian di rumah atau berjama’ah di masjid. Imam Asy-Syafi’i dan sebagian besar shahabat beliau, Abu Hanifah, Ahmad, sebagian Ulama’ Malikiyah dan Ulama’ lain menyatakan bahwa yang lebih utama adalah berjama’ah. Sebagaimana yang dikerjakan shahabat Umar ra dan para Shahabat yang lain dan terus dikerjakan oleh kaum muslimin dikarenakan merupakan syi’ar yang nyata sehingga kedudukannya seperti shalat ied. Imam Ath Thahawi menambahkan menegaskan “Shalat tarawih berjama’ah adalah fardlu kifayah”.
Adapun Abu Yusuf, Imam Malik sebagian Syafi’iyyah dan Ulama’ yang lain menyatakan yang lebih utama adalah shalat sendirian di rumah berdasarkan hadits:

فَصَلُّوا أَيُّهَا النَّاسُ فِي بُيُوتِكُمْ فَإِنَّ أَفْضَلَ صَلاَةِ الْمَرْءِ فِي بَيْتِهِ إِلاَّ الصَّلاَةَ الْمَكْتُوبَةَ
 “Shalatlah kalian di rumah kalian wahai manusia, karena sebaik-baik shalat adalah shalat seseorang di rumahnya kecuali shalat wajib”. (HR. An-Nasai)[88]

 


Wallohu a'lam bis showab.


SHOLAT IDUL FITRI


DAFTAR PUSTAKA


1.      Ad Dinul Kholis, Syaikh Mahmud Muhammad As Subki.
2.      Al Fatawa Al Kubra, Syaikh Islam Ibnu Taimiyah.
3.      Al Kaafi Fie Fiqhi Al Imam Ahmad, Ibnu Qudamah.
4.      Al Majmu’ Syarhul Muhadzdzab, Imam An Nawawy.
5.      Al Mughni, Ibnu Qudamah (Abu Muhammad Abdulloh bin Ahmad bin Muhammad bin Qudamah Al Maqohsy).
6.      Al-Fiqih Al-Islami Wa Adillatuhu, Dr. Wahbah Az-Zuhaili.
7.      Al-Jami’ li Ahkamil Qur’an, Imam al-Qurthubi.
8.      Al-Lu’lu’ Wal Marjan, Muhammad Abdul Baqi.
9.      Al-Mishbah Al-Munir, Imam Ahmad bin Muhammad Al Fayummi Al Muqri’i.
10.  Al-Munjid fil Lughah, Louis Ma’luf.
11.  Al Muwaththa’, Imam Malik bin Anas bin Malik bin Abi Amir bin Amr bin Al Harits Al Ashbahi Al Hamiri Abu Abdillah Al Madani
12.  Al-Qomus Al-Muhith, Imam Majduddin Muhammad bin Ya’qub bin Muhammad bin Ibrahim Al Fairuz Abadi Asy Syirazi Asy Syafi’i
13.  Aunul Ma’bud, Abu Thayyib Syamsul Haq Al ‘Adhim Abadi.
14.  Bidayatul Mujtahid wan Nihayatul Muqtasid, Ibnu Rusyd al Hafidz.
15.  Ensiklopedi Hukum Wanita dan Keluarga, Dr. Abdul Karim Zaidan.
16.  Fatawa Al-Kubra, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.
17.  Fatawa Al-Lajnah Ad-Da’imah lil Buhuts Al-‘Ilmiyyah wa Al-Ifta’, Asy-Syaikh Ahmad bin Abdur Rozaq Ad-Duwaisy.
18.  Fathul Bari Syarhu Shahih al-Bukhari, Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani.
19.  Fiqhuz Zakah, Yusuf Qordlowi.
20.  Fiqhul ‘Ibadat, Hasan Ayyub.
21.  Fiqih I'tikaf, Nashir bin Sulaiman Al-Umar.
22.  Jami’ At Tirmidzi, Imam Abu Isa Muhammad bin Isa bin Surah bin Musa bin Adh Dhahhak As Salmi Adh Dharir Al Bughi At Tirmidzi.
23.  Jami’ul Bayan ‘An Ta’wili Ayyil Quran, Imam Ath-Thabari
24.  Kamus Al Munawwir Arab-Indonesia, Ahmad Warson Munawwir.
25.  Kifayatul Akhyar, Muhammad Al-Husaini.
26.  Kitab Al-Umm, Imam Asy-Syafi'i.
27.  Kitabul Fiqh ‘ala Madzahibil ‘Arba’ah, Abdurrahman al-Jazary.
28.  Lisanul-Arab, Abul Fadhl Jamaluddin bin Makram bin Mandzur Al Afriki Al Mishri.
29.  Majalutul Buhuts Al-Islamiyah, Idaratul Buhuts Al-Ilmiyah Wal Ifta Wad Dakwah Wal Irsyad.
30.  Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyah, 'Abdurrahman bin Muhammad bin Qasim dan Anaknya.
31.  Mawaridludh Dham’an, Abdul Aziz Muhammad Salman.
32.  Minhajul Muslim, Abu Bakar Jabir Al-Jazairi.
33.  Musnad Ahmad, Imam Ahmad bin Muhammad bin Hambal bin Hilal.
34.  Nailul Authar, Imam As-Syaukani.
35.  Puasa Bersama Nabi, Syaikh Salim bin Id Al-Hilali dan Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid.
36.  Risalah Romadhan, Abdullah Bin Jarullah Bin Ibrohim Al Jarullah.
37.  Salsabil Fi Ma’rifati Dalil, Shalih bin Ibrahim Al-Balaihi
38.  Shahih Al-Bukhari, Imam Abu Abdillah Muhammad bin Isma’il bin Ibrahim bin Al-Mughirah Al-Ja’fi Al-Bukhari
39.  Shahih Al-Jami’ Ash-Shagir,  Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani.
40.  Shahih Al-Jami’ Ash-Shagir,  Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani.
41.  Shahih Ibnu Majah, Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani.
42.  Shahih Muslim bi Syarhin Nawawi, Imam Abu Zakariya Yahya bin Syarafuddin an-Nawawi Ad-Damsyiqi
43.  Shahih Muslim, Imam Muslim bin Al-Hajjaj bin Muslim al-Qusyairi Abul Hasan An-Naisaburi.
44.  Subulus Salam, Ash Shon’aniy.
45.  Sunan An Nasa’I, Imam Abu Abdurrahman Al Hafidz Ahmad bin Syu’aib bin Ali bin Sinan bin Bahr An Nasa’I.
46.  Sunan Abi Dawud, Imam Abu Daud As Sijistani Sulaiman bin Al ‘Asy’ats bin Syidad bin Amr Al Azdi.
47.  Sunan Ad-Darimy, Imam Ad Darimi
48.  Sunan Ad-Daruquthni, Ali bin ‘Umar Abul Hasan Ad-Daruquthni Al-Baghdadi.
49.  Sunan Ibnu Abi Syaibah, Abu Bakar Abdullah bin Muhammad bin Abi Syaibah.
50.  Sunan Ibnu Majah, Abu Abdullah Muhammad bin Yazid Arrabi’ie Ibnu Majah.
51.  Syarhus Sunnah, Imam Abu Muhammad Al-Husain bin Mas'ud Al-Baghawi.
52.  Tafsir Ad Duur Al Mantsur, Imam As-Suyuthi.
53.  Tafsir Al-‘Aliyil Qadir li Ikhtishar Tafsir Ibnu Katsir, Muhammad Nasib Ar-Rifa'i.
54.  Tafsir Al-Qur’anul ‘Adhim, Imam Ibnu Katsir.
55.  Tafsir Fathul Qodir Al Jami’ Baina Riwayah Wa Diroyah Ilmu Tafsir, Imam Muhammad Bin Ali Bin Muhammad Syaukani.
56.  Taisir 'Alam Syarh Umdatul Ahkam, Abdullah Ali Bassam.
57.  Tuhfatul Ahwadzi Syarh Sunan At-Tirmidzi, Syaikh 'Abdurrahman 'Abdurrahim Al-Mubarakfuri.
58.  Zadul Ma'ad, Imam Syamsyuddin Syihabuddin Abu Abdullah Muhammad bin Bakar Az-Zaraiy ad-Damsyiqy/Ibnul Qoyyim
































[1] Al Mughni, 3/85; Ad-Dienul Khalish, 8/317, Minhajul Muslim, hal 300, Fiqhul Ibadat, hal 201, Al-Fiqh ‘Ala Al-Madzahib Al-Arba’ah, 1/492.
[2] QS. Al Baqarah : 183-184
[3] (QS. Al baqarah : 185
[4] Shahih Al-Bukhari, no. 8; Muslim, no 16.
[5] Shahih Al-Bukhari, no. 46; Muslim, no 11
[6] Lihat Zaadul-Ma’ad, 2/36-37
[7]Dua cara inilah yang menjadi petunjuk Nabi dalam menetapkan awal dan akhir Ramadhan. Dan begitulah pendapat jumhur fuqaha’. Lihat Zaadul-Ma’ad, 2/47; Ensiklopedi Hukum Wanita dan Keluarga, 2/158-160
[8] Shahih Al-Bukhari, no. 1906, Shahih Muslim, Kitab Ash-Shiyam, no. 3.
[9] Shahih Al-Bukhari, no. 1907, Shahih Muslim, Kitab ash-Shiyam, no. 6.
[10] Ensiklopedi Hukum Wanita dan Keluarga, 2/180
[11] Syarh Shahih Muslim, 7/190.
[12] Al-Fatawa Al-Kubro, 2/464.
[13] Shahih Bukhari, no. 1913, Shahih Muslim, Kitab Ash-Shiyam, no. 15.
[14] Sunan Abu Daud, no. 2326; Sunan An-Nasai, no. 2128, dan dinyatakan shahih oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’ Ash-Shagir, no. 7394.
[15] Al-Fatawa Al-Kubro, 2/464.
[16] Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab, 6/274-275.
[17]  Shahih Muslim, hadits no. 1087,  Sunan Abu Daud, no. 2332, Sunan At-Tirmidzi, no. 693.
[18] Tafsir Al-Qurthubi, 2/295-296.
[19] Ad-Dien Khalish, 8/347-350, Fiqhul Ibadat, hal. 212, Minhajul Muslim, hal. 307-308.
[20] Al Mughni, 3/155.
[21] Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab, 6/250.
[22] Al Mughni, 3/156.
[23] Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab, 6/251.
[24] Al Mughni, 3/142.
[25] Shahih Muslim, kitab Al-Haidh, hadits no. 69;  Sunan Abu Daud, hadits no. 263.
[26] Al Mughni, 3/137,138.
[27] Minhajul Muslim, hal 308, Ad-Dien Khalish, 8/440-451, Fiqhul Ibadat, hal 232-235.
[28] Majmu’ Fatawa,25/215.
[29] Al Mughni, 3/91, Ad-Dien Khalish, 8/344.
[30] ٍSunan An-Nasai, hadits no. 2335, Sunan At-Tirmidzi, hadits no 730, Sunan Abu Daud, hadits no. 2454, dan dinyatakan shahih oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’ Ash-Shagir, hadits no. 6538.
[31] Ensiklopedi Hukum Wanita dan Keluarga, 2/200.
[32] Al-Mughni, 3/93.
[33] QS. Al-Baqarah : 187
[34] Minhajul Muslim, hal. 310-311.
[35] Shahih Al-Bukhari, hadits no. 1987, Shahih Muslim, hadits no. 1098.
[36] HR. Ahmad, Abu Daud, dan At-Tirmidzi, hadits ini dinyatakan hasan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’ Ash-Shaghir, hadits no. 4995.
[37] Sunan Abu Daud, hadits no. 2357, dan dinyatakan hasan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’ Ash-Shaghir, hadits no. 4678.
[38] Shahih Al-Bukhari, hadits no. 1923, Shahih Muslim, hadits no. 1095.
[39] Riwayat Imam Thabrani, dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’ Ash-Shaghir, hadits no. 3989.
[40] Minhajul Muslim, hal 311-312.
[41] Ad-Dien Khalish, 8/477-483, Minhajul Muslim, hal 312-313, Fiqhul Ibadat, hal 246-249.
[42] Minhajul Muslim, hal 313.
[43] Shahih Al-Bukhari, hadits no. 1936, Shahih Muslim, hadits no. 1111.
[44] Shahih Muslim, Kitab Ash-Shiyam, hadits no. 84.
[45] Minhajul Muslim, hal 314, Ad-Dien Al-Khalish, 8/454-459.
[46] Minhajul Muslim, hal. 314-315.
[47] HR. Al-Bukhari, dan Muslim, lihat Al-Lu’lu’ wa Al-Marjan, hadits no. 710.
[48] HR. Al-Baihaqi, hadits ini dinyatakan hasan oleh Syaikh Al-Albani dalm Shahih Al-Jami’ ash-Shaghir, hadits no. 6070.
[49] Minhajul Muslim, hal. 305-306.
[50] HR. Ahmad, dan At-Tirmidzi, hadits ini shahih menurut Syaikh Al-Albani dalam Shahih Al-jami’ ash-Shaghir, hadits no. 6415.
[51] HR. Al-Bukhari dan Muslim, lihat Al-Lu’lu’ wa Al-Marjan, no. 435.
[52] HR.Imam Ajmad, At-Thabrani, Al Hakim, Al Baihaqi, shahih menurut Syaikh al-Albani dalam Shahih al-Jami’ Ash-Shaghir, no. 3882.
[53] HR.Al-Bukhari dan Muslim,lihat Al-Lu’lu’ wa Al-Marjan, no. 727.
[54] Shahih  Al-Bukhari, no. 1863, Shahih Muslim, Kitab Al-Hajj, no. 222.
[55] QS. Al Baqarah : 184
[56] Lihat shahih Bukhari, no. 4505, Tafsir Ath-Thabari, 2/79.
[57] Al-Mughni, 3/141.
[58] Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab, 6/255-256.
[59] QS. Al Baqarah : 185
[60] Fatawa Al-Lajnah Ad-Da’imah lil Buhuts Al-‘Ilmiyyah wa Al-Ifta’, 10/233, 236.
[61] Lihat ukuran farsakh dalam Fiqhul Islami Waadilatuhu, 1 : 75
[62] Lihat Majmu’ Fatawa, 25/209-214.
[63] Al-Mughni, 3/139, Fatawa Al-Lajnah Ad-Da’imah lil Buhuts Al-‘Ilmiyyah wa Al-Ifta’,10/220,161.
[64] Al-Mughni, 3/139, Majmu’ Fatawa,25/218.
[65] Puasa Bersama Nabi, hal 163
[66] Lihat ukuran mud dalam Fiqhul Islami Waadilatuhu, 1/75
[67] QS. Al-Baqarah : 184
[68] Shahih Sunan Ibnu Majah, 2/64-65.
[69]  Al-Qamus Al-Muhith, 1/307
[70] Imam Al Baihaqi dari Aisyah
[71]  Subulus Salam, 2/10
[72] HR Al-Bukhari Muslim
[73] HR. An Nasa’i
[74] HR. Abu Daud, At-Turmudzi, An-Nasa’i dan Ahmad
[75] HR. Al-Bukhari, Muslim, An-Nasa’i dan At-Tirmidzi
[76] Al-Bukhari, Muslim
[77] Al Majmu’ Syarhul Muhadzzab, 4/ 38, Al Mughni 2/ 604.
[78] ( Al Asilah wal Ajwibah Al Fiqhiyah, 2/186, Mawardlu Adz Dham’an,  1/406-412 ). 
[79] Al Fatawa Al Kubra, 1/255 .
[80] Nailul Authar, 3/ 64 .
[81] HR. Bukhari, Muslim, Ahmad, Abu Daud .
[82] HR. Muslim, At-Tirmidzi, An-Nasa’i, Ibnu Majjah.
[83] QS. Adz Dzariyat: 17-18
[84] HR. Al-Bukhari Muslim.

[85] HR. Al-Bukhari
[86] Al Mugni, 1/ 605, Al-Asilah wa Al-Ajwibah Al Fiqhiyah, 2/174.
[87] Al-Asilah wa Al-Ajwibah Al Fiqhiyah, 2/174 .
[88] Nailul Authar, 3/ 60, Fatwa Lajnah Daimah, 7/201-203 .

Tidak ada komentar:

Posting Komentar