Rabu, 24 Oktober 2012

FIKIH UDLHIYAH(KURBAN)

Fiqih Udlhiyah (Kurban)
         
Pengertian udlhiyah.

a.      Secara bahasa:
   Udhiyah berasal dari kata,ً تَضْحِيَّة -  يَضْحِي- ضَحَى artinya menyembelih pada waktu kurban.[1] Juga berarti menyembelih domba atau yang lainnya ketika dhuha pada hari ied.[2]
Ibnu Arabi berkata, "Udhiyah ialah menyembelih kambing yang dilaksanakan pada hari ied."[3]

b.  Secara istilah:
Sayid Sabiq menyebutkan didalam kitab fikih sunnah, Udhiyah ialah Sebuah Ism yang bermakna menyembelih onta, sapi atau kambing pada hari ied dan hari-hari tasyriq dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah Ta'ala.[4]
            Sedangkan menurut Abu Bakar Jabir Aljazairi, Udhiyah ialah kambing yang disembelih pada dzuha hari ied dalam rangka bertaqarub kepada Allah Ta'ala.[5]

Masyru'iyah berkurban
Udhiyah disyareatkan menurut al-qur'an dan As-sunnah serta ijma' kaum muslimin.[6]
·         Allah Ta'ala berfirman,
فَصَلِ لِرَبِكَ وَنْحَرْ
"Maka sholatlah untuk tuhanmu dan berkurbanlah." [7]
·         Sabda Rosulullah saw,
مَنْ كَانَ ذَبَحَ قَبْلَ الصَّلاَةِ فَلْيَعُدْ
"Barang siapa menyembelih hewan sebelum shalat, hendaknya ia mengulangi." [8].  Dari Anas beliau berkata,
ضَحَّى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِكَبْشَيْنِ أَمْلَحَيْنِ فَرَأَيْتُهُ وَاضِعًا قَدَمَهُ عَلَى صِفَاحِهِمَا يُسَمِّي وَيُكَبِّرُ فَذَبَحَهُمَا بِيَدِهِ
Rosulullah menyembelih udhiyah dua ekor domba yang gemuk dan yang bertanduk. Dan saya melihatnya meletakkan kakinya diatas shafah (bagian dekat leher) keduanya, kemudian membaca tasmiyah dan bertakbir dan beliau menyembelih keduanya dengan tangannya sendiri.” [9]
·         Menurut Ijma', kaum muslimin telah sepakat bahwa udhiyah disyareatkan di dalam islam.

Hukum berkurban
Para ulama berbeda pendapat dalam menghukumi kurban.

  • Ibnu Qudamah menyebutkan didalam kitab Al-mughni, udhiyah hukumnya sunnah mu'akadah bukan wajib dan ini merupakan pendapat kebanyakan ahlul ilmi.[10]
  • Sayid Sabiq menyebutkan didalam kitabnya, udhiyah hukumnya sunnah mu'akadah, makruh meninggalkannya jika mampu untuk melaksanakannya dengan berhujah dengan hadist Anas.
  • Abu Hanifah berpendapat bahwa udhiyah hukumnya wajib.[11] Sebagaimana riwayat dari Abu Hurairah bahwa Rosulullah bersabda,

َ مَنْ كَانَ لَهُ سَعَةٌ وَلَمْ يُضَحِّ فَلَا يَقْرَبَنَّ مُصَلَّانَا
            Barang siapa memiliki kemampuan (untuk berkurban) kemudian tidak berkurban, maka janganlah sekali-sekali mendekati tempat sholat kami." [12]
  • Jumhur ulama berpendapat bahwa udhiyah hukumnya sunnah bukan wajib.[13] Mereka berhujah dengan sabda Nabi saw,
إِذَا رَأَيْتُمْ هِلَالَ ذِي الْحِجَّةِ وَأَرَادَ أَحَدُكُمْ أَنْ يُضَحِّيَ فَلْيُمْسِكْ عَنْ شَعْرِهِ وَأَظْفَارِهِ
            "Jika kalian melihat bulan sabit dzul hijah, sedangkan salah seorang kalian ingin berkurban, maka hendaknya ia menahan rambut dan kukunya."[14]

Rukun-rukun Udhiyah
Menurut Al-ghazali, rukun udhiyah ada empat yaitu:
b.      Hewan udhiyah
Yaitu, binatang ternak, unta, sapi atau kerbau, kambing atau domba. Dan dibolehkan berudhiyah dengan jantan dan betina.
c.       Waktu udhiyah
 Yaitu, waktu iedul adha dan hari-hari tasyriq.
d.      Orang yang menyembelih
      Yaitu, yang halal sembelihannya.
e.       Menyembelih
      Yaitu, menyembelih binatang udhiyah dengan sekali sembelihan dengan memotong kerongkongan dan tenggorokan secara sempurna menggunakan alat untuk menyembelih.

Jenis hewan kurban

a. Kriteria hewan yang disembelih untuk kurban
Hewan yang boleh untuk dikurbankan ialah onta, sapi, dan kambing. Tidak sah berkurban dengan hewan selainnya.[15] Allah Ta'ala berfirman, "Agar mereka menyebut nama Allah atas rezeki yang dikaruniakan Allah kepada mereka berupa hewan ternak."[16]
 Dr. Wahbah Az-zuhaili merincikan jenis hewan yang boleh dijadikan kurban didalam kitabnya dengan berpendapat bahwa Ahli fikih sepakat, udhiyah tidak sah kecuali dari binatang ternak seperti onta, sapi dan kerbau atau kambing serta yang sejenisnya, baik jantan maupun betina. Adapun berkurban dengan selain binatang ternak hukumnya tidak boleh seperti sapi liar, kijang dan yang selainnya.[17]

b. Umur hewan yang akan dikurbankan
Adapun usia hewan kurban, tidak sah dengan kambing yang usianya kurang dari satu tahun atau hewan kurban dengan unta yang usianya kurang dari empat tahun dan belum memasuki tahun kelima, atau hewan kurban dengan lembu berusia kurang dua tahun dan belum memasuki tahun ketiga karena Rasulullah bersabda, "Janganlah kalian menyembelih hewan kurban kecuali dengan musinnah (kambing yang telah berusia setahun lebih), kecuali jika kalian mengalami kesulitan uang maka dengan jaza'ah (kambing yang usianya enam bulan hingga satu tahun). Musinnah dari hewan ternak ialah tsaniyah yaitu kambing yang berusia setahun lebih."[18]

Sifat hewan kurban
·         Sifat hewan yang disunnahkan untuk kurban.
Disunnakan berkurban dengan domba yang gemuk, bertanduk dan jantan. Ini merupakan kesepakatan ulama fikih.
·         Sifat hewan kurban yang dilarang hukumnya
Dilarang berkurban dengan hewan yang buta sebelah, hewan yang sakit, hewan yang pincang serta hewan yang kurus. Ini merupakan kesepakatan ulama fikih. Berhujah dengan sabda Nabi saw,
أَرْبَعٌ لاَ تَجُوْزُ فِي اْلأَضَاحِي اْلعَوْرَاءُ اْلبَيِّنُ عَوْرَهَا وَاْلمَرِيْضَةُ اْلبَيِّنُ مَرَضَهَا وَاْلعَرْجَاءُ اْلبَيِّنُ ضَلْعُهَا وَاْلكَسِيْرُ أَوْ اْلعَجَقَاءُ الَّتِي لاَ تُنْقَى
Empat jenis hewan yang tidak boleh dijadikan kurban, hewan yang buta sebelah yang jelas butanya, hewan yang sakit jelas sakitnya, hewan yang pincang yang jelas pincangnya dan hewan yang kurus yang hilang sungsumnya."[19]

·         Sifat hewan kurban yang hukumnya makruh untuk kurban.
Makruh hukumnya berkurban dengan hewan yang kupingnya terbelah, robek, dan yang terpotong. Begitu juga hewan yang diambil bulunya sebelum dipotong, hewan yang matanya juling atau giginya sudah copot karena umurnya sudah tua dan hewan yang berkudis yang banyak kudisnya.[20]
Para Ulama Madzahib telah sepakat bahwa tidak sah berkurban dengan hewan yang buta sebelah mata, pincang, hewan yang sakit serta hewan yang kurus yang sungsumnya telah hilang. Sedangkan mereka berselisih mengenai hewan yang pecah tanduknya dan terbelah telinganya.[21]Jumhur Ulama berpendapat, jika cacat fisik yang terdapat pada hewan kurban sangat parah, maka hal itu menghalangi kesyahan hewan kurban.[22]
Imam Abu Hanifah, Syafi'i dan jumhur ulama berpendapat bahwa syah hukumnya berkurban dengan hewan yang pecah tanduknya secara mutlak dan Imam Malik memakruhkannya.[23]

Syarat bagi orang yang ingin berkurban
Para ulama telah sepakat bahwa syarat orang berkurban: Muslim, merdeka, baligh, berakal, muqim, dan mampu melaksanakannya. Sedangkan mereka berselisih mengenai kurban bagi anak kecil dan musafir. Para A’imah Madzahib selain hanafiyah sepakat bahwa udhiyah disunnahkan bagi musafir dan yang lainnya. Sedangkan menurut hanafiyah berpendapat bahwa tidak ada udhiyah bagi anak kecil.
Sedangkan udhiyah bagi anak kecil yang diambil dari harta walinya, maka ini disunnahkan menurut mazhab Hanafi dan Maliki. Dan tidak disunnahkan bagi anak kecil untuk berkurban menurut mazhab Syafi’I dan Hambali.[24]

Berserikat dalam berkurban
Ahlu fiqih telah sepakat bahwa domba dan biri-biri tidak diperbolehkan berkurban dengannya kecuali dari satu orang saja. Sedangkan onta dan sapi boleh bagi tujuh orang untuk berserikat berkurban dengannya.[25] Hal ini disandarkan kepada hadist Jabir Ra,
نَحَرْنَا مَعَ رَسُوْلِ اللهِ بِالْحُدَيْبِيَّةِ اْلبَدَنَةَ عَنْ سَبْعَةٍ وَاْلبَقَرَةُ عَنْ سَبْعَةٍ
“Kami berkurban bersama Rosulullah saw di Hudaibiyah dengan seekor onta dari tujuh orang yang berserikat begitu juga sapi.” [26]
Satu keluarga sah kendati terdiri dari banyak orang untuk berkurban dengan satu kambing. Karena Abu Ayub Al-Anshori berkata, “Pada zaman Rosulullah, seseorang berkurban dengan satu kambing untuknya dan keluarga.”[27]  

Berubahnya hukum udhiyah

Ø  Udhiyah menjadi wajib,
-    Jika bernadzar, sebagaimana sabda Rosulullah Saw,
مَنْ نَذَرَ أَنْ يُطِيْعَ اللهَ فَلْيُطِعْهُ
“Barang siapa bernadzar untuk taat kepada Allah, maka hendaknya ia memenuhinya.
-          Jika membelih hewan diniatkan untuk berkurban, maka berkurban dengannya hukumnya wajib. Hal ini sebagaimana pendapat Imam Malik.[28]
Ø  Udhiyah menjadi matlubah (ditekankan)
Hal ini berlaku bagi orang kaya, bukan karena nadzar atau membeli hewan yang diniatkan untuk dikurbankan. Akan tetapi dia melakukannya dengan tujuan bertaqorub kepada Allah.
Ø  Udhiyah menjadi Tathowu’ (dianjurkan)
Hal ini berlaku bagi seorang musafir atau orang fakir yang tidak terikat dengan nadzar atau niatan membeli hewan untuk dikurbankan. Karena tidak ada sebab yang mewajibkan mereka menurut syar’i.[29]

Hal-hal yang berkenaan dengan daging hewan kurban

  • Disunnahkan bagi yang berkurban makan dari daging sembelihan, memberikannya kepada karib kerabat dan menyedekahkan kepada fakir miskin. Namun afdholnya sepertiga untuk dimakan, sepertiga untuk diberikan kepada karib kerabat dan sepertiganya lagi disedekahkan kepada fakir miskin. Rosulullah bersabda,
وَيُطْعِمُ أَهْلَ بَيْتِهِ  اْلثُلُثُ وَيُطْعِمُ اْلفُقَرَاءَ جِيْرَانِهِ  اْلثُلُثُ وَيَتَصَدَّقُ عَلَى السُّؤَالِ اْلثُلُثُ
            Hendaknya ia memberi makan dengan sepertiga daging kurban kepada keluarganya, sepertiga kepada tetangganya yang fakir dan sepertiga lagi disedekahkan kepada pengemis.[30]
  • Diperbolehkan menyimpan daging kurban lebih dari tiga hari. Ini adalah perkataan kebanyakan ahlu ilmi.[31] Dari Aisyah beliau berkata, Orang badui telah datang untuk mendapatkan daging udhiyah ketika hari iedul adha dengan berjalan cepat. Maka Rosulullah bersabda, “Makanlah (daging sembelihan) dan simpanlah sepertiganya. Setelah itu mereka bertanya, “Wahai Rosulullah, kebanyakan manusia mengambil manfaat dari hewan sembelihan dengan menyimpan lemaknya dan menjadikan kulitnya sebagai tempat air.” “Bukankah hal itu  engkau larang ya Rosulullah? Kemudian beliau bersabda,
إِنَّمَا نَهَيْتُ لِلدَّافَّةِ الَّتِي دَفَّتْ كُلُوا وَادَّخِرُوا وَتَصَدَّقُوا
“Sesungguhnya yang saya larang ialah memberikan (daging kurban) kepada orang yang mengadakan perjalanan. Maka makanlah, simpanlah dan bersedekahlah dengannya.”[32]

Tata cara menyembelih hewan udhiyah
a.       Penyembelihannya hanya dipersembahkan untuk Allah Subhanahu Wata'ala, bukan untuk selainnya. Sebagaimana firman Allah dalam surat al-bayinah  ayat 5.
وَمَآأُمِرُوا إِلاَّ لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَآءَ وَيُقِيمُوا الصَّلاَةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ وَذَلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan keta'atan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan meunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus.”[33]

b.      Penuh kasih sayang terhadap binatang. Dari Qurrah bin Iyyas al-Muzani, bahwasannya seseorang bertanya, “Wahai Rosulullah sesungguhnya aku sangat menyayangi kambing untuk menyembelihnya,” Maka Rosulullah bersabda, “Jika engkau menyayanginya niscaya Allah menyayangimu.[34]
c.       Menajamkan pisau yang digunakan untuk menyembelih. Rosulullah bersabda, “Dan jika kamu menyembelih, maka sembelihlah  dengan baik. Dan hendaknya seseorang dari kalian menajamkan pisaunya dan menyenangkan sembelihannya.” [35]
d.      Menghadapkan hewan udhiyah kearah kiblat seraya membaca do’a,

إِنِّي وَجَّهْتُ وَجْهِيَ لِلَّذِي فَطَرَ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضَ حَنِيفًا وَمَا أَنَا مِنْ الْمُشْرِكِينَ إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي و َمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ لَا شَرِيكَ لَهُ وَبِذَلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَا أَوَّلُ الْمُسْلِمِين
e.       Ketika menyembelih membaca,
بِسْمِ اللهِ اللهُ أَكْبَرُ
f.       Meletakkan kaki kanan diatas bagian dekat dengan leher. Dari Anas bin Malik berkata, "Rosulullah menyembelih udhiyah dua ekor domba yang gemuk dan yang bertanduk. Beliau menyembelihnya keduanya dengan mengucapkan bismillah allahu akbar dan meletakkan kakinya diatas shafah keduanya. Shafah adalah bagian dekat leher. [36]
g.      Menyembelih di mushala, lapangan, atau tempat yang lapang. Hikmahnya supaya diketahui fakir miskin dan mereka bisa ikut merasakan daging tersebut.
h.      Disunnahkan orang yang berudhiyah menyembelih dengan tangannya sendiri. Sebagaimana perkataan Anas, “Maka Rosulullah memotong dua binatang korbannya dengan tangannya sendiri.”[37]
i.        Menyembunyikan pisau dari pandangan binatang.
j.        Menjauhkan binatang yang belum disembelih dari hewan yang sudah mati.
k.      Hendaknya tidak mencukur atau memotong bulu dan kuku hewan kurban sebelum disembelih.

Alokasi daging kurban
           
            Alokasi daging qurban diatur dalam al qur’an surat Al Haj ayat 28 yaitu :
فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْبَآئِسَ الْفَقِيرَ
"Makanlah sebagian daripadanya dan (sebagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara lagi fakir"[38]
Walau nash sudah jelas tetapi dalam istidlal (pengambilan hukum) perintah ini, terdapat beberapa versi pendapat ulama, diantaranya:

  1. Menurut Madzhab Hanafiyah :Alokasi daging qurban itu sepertiga disedekahkan sepertiga dimakan dan sepertiganya disimpan. Dalil yang dijadikan landasan pendapat ini diantaranya:

Pertama surat Al Haj ayat 28:  
  فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْبَآئِسَ الْفَقِيرَ
Artinya “Makanlah sebagian daripadanya dan (sebagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara lagi fakir).[39]
Istidlal ayat ini adalah hendaknya daging qurban itu dibagi menjadi tiga bagian karena ayat diatas menyebutkan akan hal itu.

Kedua, hadist Sulaiman Bin Buraidah,
عن سليمان بن بريدة عن أبيه أن النبى صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ قال كنت نهيتكم عن لحوم الاضاحي فوق ثلاث ليتسع ذوالطول على مالا طول فكلوا ما بدالكم واطعموا وادخروا ( أحمد, مسلم, الترميذي قال حديث حسن صحيح )
Dari Sulaiman Bin Buraidah dari ayahnya bahwa Nabi Sollallohu 'alaihi Wa Sallam bersabda :Aku melarang kalian menyimpan daging qurban melebihi tiga hari agar orang-orang yang kaya dapat memberi kepada orang yang kekurangan. Makanlah apa yang nampak pada kalian, berikanlah kepada orang lain dan simpanlah [40]

Ketiga, hadist Salamah Bin Akwa’,
عن سلمة بن الاكوع ان النبى صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ قال من ضحى منكم فلا يصبحن بعد ثالثة وبقى في بيته منه شيئ فلما كان العام المقبل قالوا يا رسول الله نفعل كما فعلنا العام الماضي ؟ فقال فكلوا واطعموا وادخروا فإن ذلك العام كاان بالناس جهد فأردت ان تعينوا فيها ( الشيخان )

Dari Salmah Bin Akwa’ bahwa Nabi Sollallohu 'alaihi Wa Sallam bersabda : Barang siapa dari kalian berqurban maka janganlah berpagi-pagi pada hari ketiga sedang dalam rumahnya ada sesuatu dari binatang qurban. Mereka berkata : Wahai Rasulullah apakah kita melaksanakan sebagaimana yang kita laksanakan pada tahun yang lalu? beliau bersabda: makanlah, berikan kepada orang lain dan simpanlah karena pada tahun itu manusia dalam keadaan sempit ( paceklik ) sehingga aku harap kalian bisa membantu mereka [41]

Keempat, hadist Al Qamah “
بعثني معي عبد الله بهديه فأ مرني ان اكل ثلثها وان ارسل إلى أهله أخيه بثلث ولن اتصدق بثلث 
Aku diutus Abdullah Ibnu Mas’ud untuk membawa binatang qurban, dia menyuruhku makan sepertiga darinya, sepertiga buat keluarga saudaranya dan disedekahkan. Kelima riwayat Ibnu Umar الضحايا و الهدايا ثلث لك و ثلث لاهاك و ثلث للمساكين Artinya: Dhahaya dan Hadaya itu sepertiga untukmu sepertiga untuk keluargamu dan sepertiga untuk orang miskin [42]   
             
  1. Menurut madzhab Malikiyah : Bagi seorang Mudhohi (orang yang berqurban) daging qurban itu sunnahnya dimakan, disedekahkan atau dihadiahkan tanpa ada  batasan tertentu.
  2. Menurut madzhab Syafi’iyah :sunnah dalam alokasi daging qurban adalah dimakan dan diberikan kepada orang lain[43]  
Dari beberapa pendapat diatas dapat disimpulkan, pendistribusian daging qurban menurut sunnah adalah sepertiga dimakan, sepertiga disedekahkan dan sepertiganya disimpan berdasarkan hadist Al Qamah, Buraidah, Salamah Bin Aku’, riwayat Ibnu Umar dan Ibnu Abbas. Namun dalam hal ini ada elastisitas artinya boleh dimakan sebagian atau disedekahkan semuanya tanpa ada batasan tertentu. Alasannya, perintah dalam ayat tersebut bersifat mutlaq, jika dia sudah makan atau bersedekah berarti perintah itu sudah terealisasi. Adapun pendapat yang menyatakan boleh dimakan semuanya tanpa diberikan orang lain, pendapat ini kurang tepat karena dalam ayat tersebut jelas ada perintah untuk memberikannya kepada orang yang membutuhkan .[44]  Imam Ar Rafi’I berkata : Yang benar menyedekahkannya, sebab substansi qurban itu adalah perwujudan kasih sayang kepada fakir miskin. Sedang tujuan itu tidak bisa terealisasi tanpa memberikan bagian mereka[45]
Diperbolehkan juga dalam hal ini memasak daging lalu mengundang fuqara’ dan masakin untuk diajak makan bersama menurut pendapat jumhur ulama’. Namun ada juga ulama yang tidak memperbolehkannya, diantaranya Imam Ar Rayani dengan argumen mereka berhak atas kepemilikannya[46]

Bolehkah daging qurban diberikan orang kafir ?

                        Dalam pembahasan ini ada beberapa pendapat.
  1. Menurut Al Hasan dan Abu Tsaur hal itu termasuk rukhshah. Menurut Imam Malik lebih baik diberikan selain kepada mereka.
  2. Menurut Al Laist hal itu adalah makruh namun jika dimasak lalu diberikan kepada mereka tidak mengapa.
  3. Sedangkan menurut Ibnu Qudamah hal itu diperbolehkan karena ibadah qurban termasuk dalam shadaqah tathawu’[47]. Pendapat senada juga terdapat dalam Fatawa Lajnah Daimah[48].           

Kesimpulannya : Memberikan daging kepada orang kafir itu boleh dengan catatan dia  kafir dzimmi atau mu’ahid bukan kafir harbi. Hal ini berdasarkan, pertama keumuman ayat yaitu ,
لاَيَنْهَاكُمُ اللهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُم مِّن دِيَارِكُمْ أَن تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِين َ
Artinya : Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. (QS.Al Mumtahanah :8). Kedua perintah Nabi kepada Asma’ Binti Abi Bakar pada masa damai untuk tetap memberi harta kepada ibunya walau dalam keadaan musyrik [49]

Bolehkan membawa daging qurban keluar daerah ?
Menurut Syeikh Ali As Sabramalisi : tidak boleh membawa daging qurban keluar daerah. Sedangkan menurut penulis Al Ifshah ‘Ala Masailil Idhah dan Fiqhus Sunnah boleh membawanya keluar berdasar riwayat nabi yang menyebutkan bahwa beliau mengirim hadyu dari Madinah menuju Mekah.[50]

Bolehkan menjual sesuatu dari binatang qurban ?
            Mayoritas ulama tidak memperbolehkan menjual sesuatu darinya baik berupa  kulit, tanduk, bulu atau yang lain[51] . Berikut diantara ulama yang melarang menjual daging kurban.
1.      Imam Ahmad, Abu Yusuf, Malik dan Syafi’I . Imam Ahmad dan Abu Yusuf berkata menjual daging adalah bathil
2.      Sedangkan Imam Malik dan Syafi’I berkata haram, hal ini berdasarkan hadist Ali Radiyallahu 'anhu
عن على قال امرني رسول الله صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ ان اقوم على بدنة فأن اتصدق بلحمها وجلودها واجلتها والا اعطى الجزار منها شيئا وقال نحن نعطيه من عندنا ( احمد ابو داود ابن ماحه الشيخان

Dari Ali beliau berkata : Rasulullah Shallalahu 'alaihi wasallam  memerintahkan aku untuk menyelesaikan prosesi qurban, beliau memerintah untuk menyedekahkan dari daging, kulit dan punuknya serta tidak memberi sesuatu apapun dari binatang qurban kepada tukang sembelih. Ali  berkata : kami yang memberi upah tukang jagal[52] 
Dalam hadist riwayat Qatadah Bin Nu’man disebutkan :Pada haji Wada’ Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam berkhutbah “Sesungguhnya aku perintahkan kalian untuk tidak makan daging qurban lebih dari tiga hari. Pada hari ini aku halalkan, makanlah sekehendak kalian jangan kalian jual daging qurban itu , makanlah sedekahkanlah dan manfaatkan kulitnya. jika kalian diberi daging ( dalam keadaan kaya) terima dan makanlah jika kalian mau [53]
Imam Syafi’I ketika ditanya mengapa anda memakruhkan penjualan kulit dan daging, sedang anda tidak memakruhkan untuk dimakan dan disimpan?. Beliau menjawab: Udhiyah adalah ibadah yang sudah ditetapkan Allah terhadap binatang, sedang asal dari apa yang dikeluarkan untuk Allah tidak bisa kembali untuk dimiliki kecuali atas izin Allah atau RasulNya[54].
Adapun riwayat yang menyebutkan menjual daging qurban sama dengan tidak berqurban, tidaklah benar karena dalam sanadnya terdapat perowi lemah yang bernama Abdullah Bin Ayyas.[55] Hadist yang dimaksud berbunyi :
  عن ابى هريرة ان النبى صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ قال من باع جلد الاضحية فلا اضحية له ( الحاكم    

Dari Abu Hurairah Radliyallahu Anhu Nabi Sollallohu 'alaihi Wa Sallam bersabda : Barang siapa yang menjual kulit binatang qurban maka bagi tidak ada qurban baginya [56]
3.      Menurut pendapat Abu Hanifah, Ishaq, Ibnu Umar, Al Hasan diperbolehkan menjual kulit dengan catatan hasilnya dimanfaatkan sebagaimana daging qurban atau disedekahkan namun tidak boleh dimanfaatkan untuk diri Mudhohi (orang yang berqurban) atau keluarganya.[57] Tetapi pendapat ini menurut pengarang Al Majmu’ Syarhul Muhadzab salah dan menyelisihi sunnah [58]

Bolehkah menerima upah dari sembelihan?
           
            Dalam hal ini terajadi perbedaan pendapat diantara para ulama:
1.      Menurut Imam Syafi’i, Malik, Ashabu Ra’yu dan Ar Rafi’i tidak diperbolehkan berdasarkan hadist yang diriwayatkan Ali Radiyallahu 'anhu bahwa beliau berkata :
عن على قال امرني رسول الله صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ ان اقوم على بدنة وان اتصدق بلحمها وجلودها واجلتها والا اعطى الجزار منها شيئا وقال نحن نعطيه من عندنا ( احمد ابو داود ابن ماحه الشيخان )

Dari Ali Bin Abi Thalib beliau berkata: Rasulullah Shalallahu 'alaihii Wasallam memerintahkanku untuk menyelesaikan prosesi qurban, beliau memerintahkan untuk membagi daging, kulit dan punuk serta untuk tidak memberi upah tukang sembelih dari binatang qurban. Ali berkata : kami memberi upah dari harta kami[59]
Imam Al Qurthubi berkata: Tidak ada rukhsah dalam pemberian upah bagi tukang jagal[60]. 
Illah atau sebab larangan itu adalah apa yang diberikan kepada tukang jagal hakikatnya adalah sebagai ganti dari pekerjaannya.[61] Imam Ar Rafi’i mengatakan kulit binatang qurban tidak boleh dijual dan juga tidak dijadikan sebagai upah bagi tukang sembelih akan tetapi bagi orang yang berqurban untuk menyedekahkannya atau memanfaatkannya sebagai sepatu, sandal, ember atau dipinjamkan tanpa dipungut biaya[62]
2.      Menurut Al Hasan, Abdullah Ibnu Ubaid bin Umair upah itu diperbolehkan dalam bentuk kulit saja.
Kesimpulannya dalam kitab al Majmu’, bahwa upah tukang jagal tidak boleh diambilkan dari sembelihan berdasar hadist Ali diatas, tetapi diambilkan dari harta mudhahi. Bagi tukang jagal boleh menerima kulit sebagai hadiah atau sedekah namun jika itu sebagai imbalan atas penyembelihannya tidak boleh [63]

REFERENSI

  1. Tafsir Al Qur’anul ‘Adhim, Ibnu Katsir Maktabah Al ‘Ashriyah Cet: III Th. 2000 M
  2. Fathul Bari Bisyarhi Al Bukhori, Ibnu Hajar Al ‘Asqalani Darul Fikr Cet: Ramadlan 2000  M
  3. Shohih Muslim Bisyarhi An Nawawi, Darul Fikr Cet: I Th. 2000 H
  4. Aunul Ma’bud Syarhu Sunan Abu Dawud, Ibnu Qayyim Al Jauziyah,
  5. Tuhfatul Ahwadzi Bisyarhi Jami’ Tirmidzi, Ibnu Abdul Rahim Al Mubarak Furi Darul Fikr Th. 1995 M
  6. Majmu’ Fatawa, Syeikh Islam Ibnu Taimiyah Th. 1997 M
  7. Al Mughni, Ibnu Qudamah Hajar Cet: I Th. 1989 M
  8. Zaul Ma’ad, Ibnul Qayyim Al Jauziyah Muasasah Ar Risalah Beirut Libanon Cet: II Th, 1998 M 
  9. Nailul Author, Muhammad As Syaukani Darul Fikr Cet: II Th. 1983 M
  10. Al Majmu’ Syarhul Muhadzab, An Nawawi Darul Fikr Cet: I Th. 1996 M
  11. Syarhul Kabir, Imam Ar Rafi’i Al Qazwini Asy Syafi’i Darul Kutub Al Ilmiyah Beurut Libanon Cet: I Th. 1997 M
  12. Al Kafi Fii Fiqhi Imam Ahmad Bin Hambal, Maktabah Muhammad Zuhair Asy  Syawisy
  13. Ibanatul Ahkam Syarhul Bulughul Maram, Ibnu Hajar Al Asqalani Darul Fikr Cet : 2002 M
  14. Siyaru ‘Allam Syarhu Umadatul Ahkam, Ali Bassam, Darul Fikr Cet: VII Th. 1987 M
  15. Kitabul Fiqhi ‘Ala Madzahibi Al Arba’ah,
  16. Al As’ilah Wal Ajwibah , Abdul Aziz Al Muhammad As Salman Cet: X Th. 1412 H
  17. Manarus Sabil Fii Syarhil Dalil, Ibrahim Ibnu Muhammad Bin Salim Bin Shuyani Maktabah Al Ma’arif Sa’ad Bin Abdur Rahman Ar Rasyid Riyadh
  18. Minhajul Muslim, Abu Bakar Al Jazairi Darul Fikr Th. 1992 M
  19. Fiqhu Sunnah, Sayid Sabiq Darul Fikr Beirut Libanon
  20. Ad Dinul Kholish, Mahmud Muhammad Khathab As Subki Maktabah As Sa’adah Mesir Cet: II Th. 1964 M
  21. Kitabul Idhah Fii Manasikil Haj Wal Umrah, An Nawawi Maktabah Al Imdadiyah As Su’udiyah Cet: III Th. 1995 M
  22. Al Umm, Muhammad Bin Idris As Syafi’I Darul Ma’rifah Beirut Libanon







[1]. Kamus Al-Munawir: 1/871
[2]. Kamus Mu'jamul wasith: 535
[3]. Kamus lisanul 'arab: 14/477
[4]. Fiqh Sunnah: 3/274
[5]. Minhajul muslim
[6]. Al-mughni: 13; 360
[7] Q.S. Al-Kautsar: 2
[8] Muttafaq alaihi
[9] H.R. Bukhari
[10] Almughni: 13/360-361
[11]. Almughni: 13/360-361
[12] H.R. Ibnu Majah 2/1044
[13]. Fikih islami: 3/596
[14] H.R. Aljama'ah kecuali Bukhari
[15].Fikih Sunnah: 3/275
[16] Q.S. Al-Hajj: 34
[17]. Fiqh islami wa adilatuha; 3/611
[18] Diriwayatkan oleh Muslim
[19] H.R.Al-Khomsah, Ahmad dan Ashabu sunnan dan dishahihkan oleh Tirmidzi
[20]. Fiqh islami wa adilatuha: 3/617-624
[21]. Majmu' syarhul muhazab: 8/297
[22]. Bidayatul mujtahid: 4/77
[23]. Nailul Author: 5/205
[24]. Fiqh Islami: 3/603-604
[25]. Fiqh sunnah: 3/616
[26] H.R Al-Jama’ah
[27]. Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi , lihat Minhjul Muslim
[28]. Fiqh sunnah 3/275
[29]. Fiqh islami: 3/598
[30] H.R. Al-Hafidz Abu Musa Al-Asfahani
[31]. Al-Mughni 13/381
[32] H.R. an-Nasa’i
[33] QS. 98:5
[34] H.R. Hakim: 3/586
[35] H.R. Muslim
[36] H.R. Bukhari
[37] H.R. Al-Jama’ah
[38] QS al-Hajj : 28
[39] QS al-Hajj : 28
[40] HR. Ahmad, Muslim, dan Tirmidzi beliau berkata : hadist ini hasan shohih
[41] HR. Syaikhoni
[42] . Dhahaya : binatang yang disembelih pada hari raya ‘idul adha
     Hadaya : binatang yang disembelih di tanah haram karena denda atau pelanggaran haji
[43] . Ad Dinul Khalis 5/32-35
[44] . Ad Dinul Khalis 5/35
    Al Mughni 13/380
[45] . Syarhul Kabir : 12/108-109
[46] . Al Majmu’ : 8/381
[47] .  Al Mughni : 8/381
[48] . Fatawa Lajnah Daimah Lil Buhust Al Ilmiyah Wal Ifta’ : 11/420
[49] . Fatawa Lajnah Ad Daimah : 11/424
Dzimmi adalah orang kafir yang berada dalam lindungan daulah isalamiyah karena telah memberikan     jizyah sebagai bukti ketundukan dia. Sedangkan Mu’hid adalah orang kafir yang mengadakan perjanjian damai dengan kaum muslimin
[50] . Fiqhus Sunnah : Al Ifshah ‘Ala Masailil Idhah : 337
[51] . Al Majmu’: 8/382, Al As’ilah Wal Ajwibah Al Fiqhiyah 3/20, AL Kafi fi Fiqhi Ahmad Bin Hambal : 1/474, Al Mughni : 13/378, Ibanatul Ahkam : 4/228
[52] HR. Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah, dan Syaikhoni
[53] HR. Ahmad
[54] . Al Umm: 2/224
[55] . Ad Dinul Kholis 5/38     
[56] HR. Al Hakim
[57] . Ibid 5/39
[58] . Al Majmu Syarhul Muhadzab 8/420
[59] Mutafaqun alaihi
[60] . Ibid
[61] . Al Mughmi : 8/382,  AL Majmu’ : 8/382, Minhajul Muslim “296,   Majmu’ Fatawa : 26/305,  Nailul Author : 5/221
[62] . Syarhul Kabir : 12/113
[63] . Al Majmu’ : 8/313

Tidak ada komentar:

Posting Komentar