FIQIH NIKAH
A.Pengertian
nikah
Secara bahasa
adalah `jima'… .
ولاتنكحوا ما نكح اباؤكم من النساء الا ما قد
سلف
Atau terkadang
mempunyai makna -.akad :….
حتي تنكح زوجا غيره
Yang rojih menurut
Syafi'iyah dan Malikiyah adalah pendapat yang kedua.[1]
Nikah atau juga sering disebut 'zawaj
ini berasal dari bahasa Arab. Yakni bentuk mashdar dari kata نكح ينكح نكاحاً yang berarti
(الوطء ) bersetubuh, dan ( البضع ) bersenggama.
Ibnu Sayyidah berkata, "Nikah berarti (البضع)
bersenggama yang khusus diperuntukkan untuk manusia. Sedang Tsa'lab menggunakannya
khusus untuk lalat. " [3]
Nikah juga bisa berarti (الضمّ)
mengumpulkan/menggabungkan. Seperti kalimat تناكحت
الأشجار jika bagiannya yang satu bergabung/bersatu
dengan bagian yang lain.
Secara istilah adalah sebuah akad yang
menghalalkan seorang laki-laki untuk menggauli seorang perempuan [4]
B. Dalil-dalil berkenaan dengan nikah
1. Dalil dari alquran.
- Alloh berfirman :"Dan nikahkan orang-orang yang sendiria diantara kamu, dan orang-orang yang layak[ menikah] dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan hamba sahayamu yang perempuan."[5].
- Alloh berfirman "Nikahilah wanita-wanita yang kamu senangi, dua, tiga, atau empat."[6]
- Alloh berfirman ; Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang.Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir. [7]
2. Dalil dari
sunnah.
- Diriwayatkan dari Ma'qil Ibnu Yasar, bahwa Nabi pernah berkata, "Nikahilah yang penuh kasih sayang dan subur[banyak melahirkan anak] dan sesungguhnya aku memperbanyak umatku dengan kalian." [8]
Al Wadud adalah wanita yang mencintai
suaminya dan Al Walud adalah wanita yang melahirkan anak[subur].
- Rosululloh saw bersabda "Wahai para pemuda, barang siapa diantara kalian telah mampu, maka menikahlah, sesugguhnya [pernikahan itu] lebih dapat menahan [menjaga pandangan] mata dan kemaluan. Dan barang siapa belum mampu, maka hendaklah berpuasalah, sesungguhnya [puasa itu] sebagai benteng baginya."[9]
Yang dimaksud Al Ba'ah pada hadist di atas adalah mampu
berkeluarga dan mampu menanggung beban rumah tangga. Khitob pada hadits
diatas ditujukan kepada orang yang memiliki kemampuan untuk jima'. Sedangkan
yang dimaksud dengan Al Wija' adalah yang dapat mengendalikan dorongan
seks dan syahwat.
- Diriwayatkan oleh Abu dzar, bahwa nabi r pernah bersabda,"….dan dalam hubungan intim terdapat nilai sedekah." Mereka bertanya, "Wahai Rosulullah, apakah setiap orang dari kami menyalurkan hasrat seksnya dan ia mendapatkan pahala?" beliau bersabda," bagaimana pendapat kalian, bukankah apabila ia menyalurkannya pada sesuatu yang haram, ia berdosa? Maka demikian pula, apabila ia menyalurkannya pada jalan yang halal, ia mendapat pahala."[10].
- Diriwayatkan dari Abdullah bin Amr, bahwa Rosulullah bersabda, "Dunia adalah perhiasan semata, dan sebaik-baik perhiasan dunia adalah wanita sholihah."[11].
- Dari Sa'id bin Jubair, dia berkata, "Ibnu Abbas pernah bertanya kepadaku," Apakah kamu sudah menikah?" aku menjawab," belum." Ibnu Abbas berkata," Menikahlah, karena sebaik-baik umat ini adalah yang paling banyak wanitanya [istrinya]."[12]
C. Hukum
nikah
Kaum
muslimin sepakat bahwa nikah merupakan perkara yang disyari'atkan.[13]. Tetapi terjadi perbedaan pendapat diantara para ulama mengenai
hukum menikah:
- Wajib bagi setiap orang yang mampu untuk menikah sekali dalam seumur hidup.
Pendapat ini dikemukakan oleh
madzhab Daud Azh-Zhahiri dan ibnu Hazm. Pendapat senada juga dikemukakan dalam
salah satu riwayat dari pendapat Ahmad, Abu Awanah Al Isfaraini dari kalangan
madzhab Imam Syafi'i, dan sekelompok ulama' salaf.[14].
Pendapat ini mereka sandarkan
pada zhahir nash tentang "Anjuran untuk menikah". Menurut mereka, hukum asal dari perintah adalah wajib.
- Mustahab [sunnah].
Pendapat ini dikemukakan oleh
mayoritas ulama' dan jumhur ulama' empat madzhab serta lainnya.[15].
- Sesuai kondisi seseorang.
Pendapat ini adalah yang paling
popular dikalangan madzhab maliki, begitu pula yang dikemukakan sebagian
madzhab Syafi'i dan Hanbali.[16]
Mereka mengatakan :
- Hukum menikah adalah wajib
Yaitu bagi seseorang yang sudah
memiliki hasrat untuk menikah dan dia khawatir terjerumus dalam perzinaan jika
tidak menikah.
- Sunnah bagi orang yang memiliki dorongan sexs, akan tetapi dia tidak khawatir terjerumus pada perbuatan zina. Dalam kondisi seperti ini, menikah lebih utama dari pada ia sibuk mengerjakan ibadah-ibadah sunnah lainnya.
Pendapat ini dikemukakan oleh jumhur
ulama' selain Imam Syafi'i. karena hukum menikah baginya dalam kondisi stabil
adalah mubah.
- Haram bagi orang yang tidak dapat memberikan nafkah lahir dan batin kepada istrinya, tidak adanya kemampuan dan keinginan untuk melaksanakan pernikahan tersebut.
- Makhruh bagi orang yang tidak dapat menafkahi istrinya dan ia tidak memiliki hasrat untuk menikah, akan tetapi ia tidak membahayakan istrinya. Orang seperti ini, menyibukkan diri untuk menuntut ilmu adalah lebih baik baginya.
D.Hikmah disyar'iatkannya menikah :
Hikmah dibalik perintah menikah diantaranya
adalah:
- Kebutuhan suami istri kepada pasangannya dapat tersalurkan, yaitu dengan melakukan hubungan sexs yang fitriyah.
- Kerja sama suami-istri dalam mendidik anak dan menjaga kehidupannya.
- Mengikuti sunnah Nabi dan mengikuti petunjuk para Rosul.
- Menundukkan syahwat dan menjaga pandangan.
- Memperbanyak keturunan yang dengannya tercapai kebanggaan Nabi r di hadapan para nabi dan umat lainnya pada hari kiamat kelak.
- Praktek perzinaan tidak merajalela di kalangan umat islam.
- Mendapatkan pahala dari hubungan intim yang di lakukan secara halal.
- Sebagai sarana untuk memperoleh keturunan yang sangat di harapkan do'anya setelah kita meninggal dunia.
- Untuk mewujudkan keturunan yang beriman yang akan menghuni daerah-daerah kaum muslimin dan mereka memohon ampunan kepada Allah untuk orang-orang yang beriman.
- Menghadirkan ketentraman dalam hidup,cinta dan kasih sayang di antara suami-istri.
- Sarana untuk mendapatkan syafaat untuk masuk surga melalui anak. Rosulullah bersabda," Dikataka pada anak-anak pada hari kiamat kelak," masuklah kalian ke surga?" Mereka menjawab" Wahai Tuhan, kami tidak akan masuk sebelum ayah dan ibu kami masuk." Orang tuanya pun didatangkan. Allah berfirman," Aku tidak melihat mereka menghalanginya, maka masuklah kalian kesurga." Mereka berkata," Wahai Tuihan, bagaimana dengan ayah dan ibu kami?" Allah berfirman," Masuklah kalian ke surga bersama ayah dan ibu kalian." [17]
E. Syarat-syarat sah nikah
1.
Adanya wali
Yaitu orang yang mengurus akad pernikahan seorang perempuan dan
tidak membiarkannya melakukan akad sendiri tanpa kehadirannya.[18]
Biasa disebut juga mereka adalah ayah kandung wanita, atau penerima
wasiat, atau kerabat terdekat dan seterusnya sesuai dengan urutan ahli waris
wanita tersebut, atau orang bijak dari keluarga wanita tesebut, atau pemimpin
setempat. Rosulullah r bersabda :
لانكاح الا بولي
" Tidak ada nikah kecuali
dengan wali "[19]
Hadits riwayat
Aisyah t, Nabi r bersabda," Wanita menapun yang menikah tanpa izin walinya,
maka pernikahannya batal (tidak sah). Beliau menyatakan tiga kali] dan ia
berhak mendapatkan maharnya karena suami telah menyetubuhinya. Jika para wali
berselisih untuk menghalang-halanginya untuk menikah, ,maka sulton adalah wali
bagi orang yang tidak memiliki wali [20].
Hadits di atas menunjukkan bahwa
posisi wali sebagai salah satu syarat sahnya nikah.[21]
Umar bin khotob t berkata : "Wanita tidak boleh dinikahi kecuali dengan
izin walinya, atau orang bijak dari keluarga wanita, atau pemimpin."
2. Adanya dua orang saksi
Yang dimaksud dua orang saksi adalah
bahwa akad nikah harus dihadiri dua orang saksi atau lebih dari laki-laki yang
adil dari kaum muslimin.
Allah ta'ala berfirman : " Dan
persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kalian."[22]………tafsirnya…….
Rosulullah
r
bersabda
لانكاح
الا بولي وشاهدي عدل
"Tidak sah sebuah pernikahan
tanpa adanya wali dan dua orang saksi yang adil."[23]
Ketentuan saksi nikah.
a.Saksi nikah dua orang atau lebih.
b.Kedua saksi tersebut harus adil yaitu
terlihat dengan menjauhi dosa-dosa besar dan meninggalkan sebagian besar
dosa-dosa kecil. Sedangkan orang fasik dengan melakukan zina, atau meminum
minuman keras, atau memakan harta riba itu tidak sah dijadikan saksi
pernikahan.
Karena
Allah berfirman : "Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil
di antara kalian."[24]
Dan
Rosululah r bersabda : "Tidak ada nikah
kecuali dengan wali dan dua orang saksi yang adil."[25].
c.Jumlah saksi disunnahkan untuk
diperbanyak pada zaman kita karena sedikitnya sifat adil pada zaman sekarang.
3. Adanya mahar.
Yaitu
sesuatu yang diberikan suami kepada istri untuk menghalalkan menikmatinya.[26]
Mahar
juga berarti kompensasi (ganti) dalam nikah atau lainnya [yang wajib diberikan]
dengan nominal yang ditentukan oleh hakim atau atas keridhoan kedua belah pihak
[mempelai pria dan wanita]. Mahar dikenal juga dengan istilah ujr [upah],
faridhoh [kewajiban], dan sejenisnya. [27]
Mahar
disebut juga dengan istilah "shodaq" karena ia membangun
perasaan dan ketulusan [shidq] keinginan menikahi mempelai wanita [istri][28]
Hukum mahar
adalah wajib
Pensyaratan adanya mahar dalam
pernikahan adalah pendapat madzhab Maliki, Ahmad dalam salah satu riwayat, dan
pendapat yang dipilih oleh Syekh Islam Ibnu Taimiyyah,[29].
Dengan dalil sebagai berikut :
Firman Allah I "Dan berikanlah maskawin[mahar] kepada wanita [yang kalian
nikahi] sebagian dengan penuh kerelaan." [30]
Kata "Nihlah" dalam penafsiran sebagian besar
kalangan ahli tafsir diartikan sebagai kewajiban dan keharusan.[31].
Sabda Rosulullah r " Carilah mahar kendati cuma cincin dari besi."
[mutafaqun alaih].
Nash-nash di atas secara dhohir
menginformasikan bahwa penyebutan mahar dan serah terimanya merupakan syarat
sah nikah. Terkait dengan firman Allah I,"Tidak ada kewajiban membayar mahar atas kamu, jika kamu
menceraikan istri-istrimu sebelum kamu bercampur dengan mereka dan sebelum kamu
menentukan maharnya."[32]. Memang nikah tetap sah tanpa menyebut penentuan nominal mahar dan
sebelum penyerahannya. Dan ini adalah ketetapan ijma' yang sudah disepakati
bersama, [33].
Seputar
mahar
a.
Mahar disunnahkan murah
Sebagaimana sabda Rosululah r اعظم النساء بر كة ايسر هن مؤنة
"Wanita yang paling besar
berkahnya ialah wanita yang paling mudah [murah] maharnya." [34]
Berkaitan dengan hadits-hadits
tentang mahar, Ibnu Qoyyim mengatakan, bahwa hadits-hadits tesebut memberikan
pengertian bahwa berlebih-lebihan dalam memasang mahar hukumnya makhruh, kurang
berkah, dan berimplikasi pada kesulitan perkawinan. [35].
Umar bin Khotob berpesan,"Ingatlah
baik-baik, janganlah kalian berlebih-lebihan dalam menentukan mahar wanita.
Jika ia dianggap sebagai kehormatan di dunia atau takwa di sisi Allah, maka
orang yang paling berhak diantara kalian adalah Nabi r , namun beliau tidak pernah memberi mahar kepada seorang pun
diantara istri-istri beliau dan tidak ada seorang pun dari putri-putri beliau
yang di beri mahar lebih dari dua belas uqiyah. Sungguh jika laki-laki harus
memberikan mahar yang tinggi pada istrinya, maka akan timbullah rasa permusuhan
di dalam dirinya terhadapnya [istri], hingga ia akan mengatakan [pada istri dan
keluarganya]:" Telah aku tanggung demi kalian segala sesuatu, sampai aku
banjir keringat."[36].
Diriwayatkan dari Aisyah t bahwa suatu ketika ia ditanya mengenai berapa mahar yang
diterimanya dari Rosulullah r, ia menjawab," Mahar beliau kepada istri-istri beliau adalah
12 setengah awaq. Senilai 500 dirham. Inilah mahar Rosulullah r kepada istri-istri beliau." [37]
Syaikhul Islam ibnu Taimiyyah mengatakan,"
Barang siapa yang terdorong untuk memasang mahar yang lebih tinggi untuk
putrinya melebihi mahar putri-putri Rosulullah r yang notabene merupakan sebaik-sebaik makhluk Allah dalam segala
kemulian dan wanita terbaik dalam segala sifat, maka ia adalah bodoh dan tolol.
Begitu juga jika ingin melebihi mahar istri-istri Nabi r meskipun ia mampu dan berkecukupan. Sedangkan bagi orang miskin dan
yang selevelnya, tidak seyogyanya ia memberikan mahar kepada istri yang tidak
ia bisa penuhi kecuali harus dengan sangat memberatkan diri." [38].
Dikisahkan oleh Asy Sya’bi, ia
berkata ,"Umar bin Khothob t [ketika itu beliau menjabat sebagai kholifah] berpidato di hadapan
manusia. Setelah mengumandangkan puji syukur kepada Allah, ia berseru,"
Ingat-ingat, janganlah kalian berlebi-lebihan dalam hal mahar wanita.
Sesungguhnya aku tidak menerima tentang seseorang yang memberikan sesuatu yang
melebihi apa yang di berikan Rosulullah r atau dibawakan kepada beliau kecuali aku jadikan sisanya untuk kas
baitul mal!".
Kemudian beliau turun, tiba-tiba
seorang wanita mencegahnya dan berkata," Wahai amirul mu'minin, mana yang
lebih berhak diikuti, Kitabullah atau ucapan Anda?" Ia menjawab,"
Tentu saja Kitabullah. Memangnya ada
apa?". Perempuan itu menukas," Tadi engkau melarang orang-orang untuk
berlebih-lebihan dalam memberikan atau memasang mahar untuk wanita, sementara
Allah I
berfirman di dalam Kitab-Nya," Sedang kamu telah memberikan kepada
seseorang diantara mereka harta yang banyak, maka janganlah kamu mengambil
kembali daripadanya barang sediktpun."[39].
Umar berseru," Semua orang lebih pintar dari
Umar." Dua atau tiga kali, beliau lantas kembali ke mimbar dan berkata
kepada orang-orang," Tadi aku melarang untuk berlebih-lebihan dalam mahar
wanita, Ingatlah sekarang, silakan setiap laki-laki menggunakan hartanya sesuai
dengan apa yang di pandangnya baik." [hadits hasan].
Maka
Syeikh Islam Ibnu Taimiyyah berkata," Manusia memiliki perbedaan kemampuan
financial dan tingkat kekayaannya. Karena itu,
pembayaran mahar mempertimbangkan kondisi keuangan mempelai pria tanpa
menuntutnya dengan sesuatu yang tidak ia mampu. Sehingga terkadang menyeretnya untuk
berbuat nista dan sejenisnya. Jika memang ia mampu, maka ia tidak dimakhruhkan
untuk memberikan mahar yang tinggi diatas rata-rata, dengan syarat tidak
dibarengi dengan niat menyombongkan diri dan sejenisnya. Jika sudah demikian halnya,
maka hukumnya menjadi makhruh.Wallahu a'lam.
b.
mahar disunnahkan ditentukan
bentuknya pada saat akad.
c.
Mahar menjadi tanggungan suami
pada saat akad dan menjadi wajib ketika suami menggauli istrinya. Jika suami
menceraikan istrinya sebelum menggaulinya, maka separuh mahar gugur darinya dan
ia hanya berkewajiban membayar separohnya, karena Allah I berfirman " Jika kalian menceraikan istri-istri kalian
sebelum kalian becanpur dengan mereka, padahal sesungguhnya kalian sudah
menentukan maharnya, maka bayarlah seperdua dari mahar yang telah kalian
tentukan itu."[40]
d.
Jika suami meninggal dunia
sebelum menggauli istrinya dan setelah akad, maka istri berhak mewarisinya dan
mendapatkan maharnya secara utuh, itu kalau maharnya telah ditentukan. Jika
maharnya belum ditentukan, maka istri mendapatkan mahar sebesar mahar wanita
yang selevel sengannya dan ia menjalani masa iddah sepeninggal suaminya.
e.
Mahar boleh dibayar kontan pada
saat akad nikah, atau ditunda, atau sebagiannya saja yang ditunda, karena Allah
I
berfirman: Jika kalian menceraikan istri-istri kalian sebelum kalian bercampur
dengan mereka, padahal kalian telah menentukan maharnya, maka bayarlah seperdua
dari mahar yang telah kalian tentukan itu."[41]
Hanya saja sebagian mahar diserahkan
sebelum suami menggauli istrinya, karena Abu Daud dan An-Nasa'I meriwayatkan
bahwa Rosulullah r memerintahkan Ali bin Abi Thalib t memberi sesuatu kepada Fatimah sebelum berhubungan dengannya. Ali
bin Abi Thalib berkata," Aku tidak mempunyai apa-apa." Rosulullah r bersabda, "Mana baju besimu?" Ali bin Abu Thalib t pun memberikan baju besinya kepada Fathimah sebelum menggauli
Fatimah.[42]
Jenis barang
yang layak dijadikan mahar
Berikut
beberapa barang yang bisa dijadikan sebagai mahar:
- Semua benda yang bisa dijadikan alat penukaran dalam jual beli.[43]
Mahar bisa berupa barang yang bernilai ekonomis, suci, halal, bisa
dimanfaatkan, dan bisa siserah terimakan, misalnya uang, barang atau
sejenisnya.
Allah I berfirman," Dan dihalalkan bagi kamu sekalian yang
demikian[yaitu] mencari istri-istri dengan hartamu.[44]
- Jasa
Setiap pekerjaan [jasa] yang
mendapat upah boleh dijadikan sebagai mahar. Misalnya mengajar al quran,
pekerjaan tangan, pelayanan, dan sejenisnya. Ini adalah pendapat Imam Syafi'I
dan Ahmad. Semantara itu, Abu Hanifah menolaknya, sedangkan Imam Malik menganggapnya
makhruh[45].
Yang benar adalah kebolehan menikah
dengan mahar jasa. Allah I telah mengisahkan pada kita bagaimana seorang bapak tua menikahkan
Musa u dengan
salah satu puterinya dengan mahar bekerja selama delapan tahun pada si bapak.
Allah I
berfirman " berkatalah dia [syu'aib]: " sesungguhnya aku bermaksud
menikahkan kamu dengan salah seorang dari kedua anakku ini, atas dasar kamu
bekerja denganku selama delapan tahun dan jika cukupkan sepuluh tahun, maka itu
adalah [suatu kebaikan] dari kamu, maka aku tidak hendak memberati kamu. Dan
kamu insya allah akan mendapatiku termasuk orang-orang baik."[46].
Hal ini memang syari'at umat sebelum islam, namun selama tidak ada dalil yangf
membatalkannya, maka ia tetap sah dan berlaku pada kita.
Begitu pula cerita tentang wanita
yang menyerahkan dirinya untuk dinikahi, Rosulullah r berkata pada laki-laki yang mengawininya,
اذهب فقد انكحتكها بما معك من القران
"Pergilah, aku telah menikahkan kamu dengannya dengan mahar Al
Qur'an yang kau miliki".[hadits sohih]. Yang dimaksud mahar Al Qur'an
disini adalah jasa pengajaran satu surat
atau lebih dari Al Qur'an yang ia hafalkan untuk mempelai wanita.
- Memerdekakan budak
Diceritakan oleh Anas, bahwasanya
Rosulullah r memerdekakan shofiyah dan menjadikan pemerdekaannya sebagai
maharnya.{ hadits shohih yang ditakhrij olehAl Bukori dan Muslim}.
Kalangan yang membolehkan diantaranya
adalah Syafi'I, Ahmad dan Daud Azh-zhahiri. Namun hal ini ditolak oleh kalangan
ahli fiqhih dengan alasan bertentangan dengan prisip-prinsip dasar [usul]. karena
menurut logika mereka, pemerdekaan budak berarti penghapusan kepemilikan atas
diri budak tersebut, dan penghapus ini tidak mengandung unsur penghalalan
sesuatu. Dari sisi lain, mereka menjadi orang merdeka dengan konsekuensinya.
Terkait dengan hadits di atas, para
ahli fiqih berpendapat bahwa kemungkinan besar ia berlaku khusus bagi Nabi r, karena banyaknya hal yang berlaku khusus bagi Nabi r dalam kontek pernikahan. [47].
Pendapat yang lebih rojih menurut
"kamal bin Said Salim" dalam kitabnya 'shohih fiqhus sunah' adalah
yang membolehkan pemerdekaan budak sebagai mahar demi merujuk hadits di atas.
Sebab, pada dasarnya semua perbuatan Nabi r adalah untuk di teladani
umatnya, kecuali ada dalil yang menunjukkan kekhususan, misalnya menikahi
wanita lebih dari empat.
Bolehkah
memeluk islam dijadikan sebagai mahar ?
Dikisahkan oleh Anas bin Malik,
tuturnya: Abu Tholhah menikahi Ummu Sulaim dengan mahar "masuk
islam". Dikisahkan bahwa Ummu Sulaim lebih dahulu memeluk islam
daripada Abu Tholhah. Saat melamarnya,
Ummu Sulaim berkata kepadanya," Aku telah masuk islam. Jika kamu masuk
islam, aku bersedia menikah denganmu. "Abu Tholhah pun memeluk islam dan
menjadikannya sebagai mahar antara keduanya. [48]
4. Shighoh akad
Yaitu ucapan calon suami atau wakilnya
pada saat akad nikah, "Nikahkan aku dengan anak putrimu yang bernama si
fulanah," dan ucapan wali," Aku nikahkan engkau dengan anak putriku
yang bernama si Fulanah," serta ucapan calon suami," Aku terima
pernikahan anak putrimu denganku.[49]
Rukun
akad
Menurut kesepakatan para ulama',
rukun akad ada dua yaitu adanya "ijab dan qobul".[50].
Ijab adalah pernyataan yang
dikeluarkan oleh salah satu pihak [pihak pertama] untuk menyatakan keinginannya
membangun hubungan suami istri. Hal ini mengisyaratkan bahwa ia memiliki
tanggungan untuk melaksanakan apa yang menjadi konsekwensi pernyataan tersebut
atas dirinya.
Qobul adalah pernyataan yang
dikeluarkan oleh pihak yang lain [pihak kedua] untuk menyatakan kerelaan dan
persetujuannya atas apa yang diakadkan (materi perjanjian).
Dalam kontek pernikahan, ijab qobul
harus bersumber dari pihak yang sah untuk melangsungkan akad nikah. Namun
sebagaimana akad yang lain, nikah juga boleh diwakilkan, dengan kata lain
ditanda tangani oleh wakil suami atau istri.
Syarat-syarat penyelenggaraan nikah
Pertama : Syarat/ketentuan berkenaan dengan
shighat akad.
1. Shighat ijab qobul harus menggunakan
kata-kata yang menunjukkan arti pernikahan. Misalnya "Ankahtu"
[aku nikahkan], "Zawwajtu" [aku kawinkan]," Mallaktu"
[aku serahkan]," Bi'tu" [aku jual]," Wahabtu"
[aku hibahkan]," dan lain sebagainya sesuai adat setempat atau disertai
qorinah, dalil yang menyertai.
Namun
di sini tidak disyaratkan harus menggunakan lafadz "Ankahtuka"
atau "zawwajtuka ", Sebab yang dijadikan ukuran dalam menentukan
sah atau tidaknya sebuah akad adalah maksud dan makna, bukan redaksi semata.
Ini merupakan pendapat yang paling shohih di antara dua pendapat
besar yang berkembang di kalangan ulama', juga menjadi madzhab Abu hanifah dan
Malik, pendapat sebagian kalangan madzhab Ahmad bin Hanbal, dan pendapat yang
dipilih oleh syekhul Islam ibnu taimiyyah. [51]
Pendapat ini di dukung oleh hadits
Rosulullah r قد ملكبكها بمامعك
من القران
"Aku jadikan kepemilikannya [nikahkan] kepadamu dengan [mahar
surah] Al Quran [yang telah engkau ajarkan kepadanya]." [52].
Sementara itu, kalangan madzhab
Syafi'I dan Hanbali menganggap akad nikah tidak sah kecuali menggunakan lafadz "Tazwij"
atau Inkah". Sebab tidak ada lafadz pernikahan di dalam Al Qur'an
kecuali dengan menggunakan kedua kata tersebut
Akad nikah
selain dengan bahasa arab
Jika kedua belah pihak atau salah
satu dari keduanya tidak memahami bahasa arab, maka menurut kesepakatan para
ulama' akad keduanya diperbolehkan tanpa harus menggunakan redaksi bebahasa
arab.
Sementara itu, jika keduanya
mengerti bahasa arab dan dapat melangsungkan akad dengan sighot bahasa arab,
maka penggunaan lafadz non-arab menurut kalangan madzhab Syafi'I dan hanbali
tidak di perbolehkan. Namun pendapat yang shohih menyatakan boleh.
Menurut Syekhul Islam, bahwa akad
dengan bahasa selain bahasa arab dimakhruhkan jika tidak ada kebutuhan yang
mendesak untuk menggunakannya, sebagaimana halnya makhruhnya penyampaian
ungkapan dalam berbagai transaksi dengan bahasa non-arab jika tidak dibutuhkan.
Indikasi kearah ini dinukil dari Malik, Ahmad, dan Syafi;I yang memakhruhkan
pembiasaan diri berkomunikasi dengan bahasa non-arab tanpa kebutuhan.[53].
2. Shigot akad harus menunjukkan pengertian selama lamanya
dan mantap.
Jadi,
jika menunjukkan pengertian sementara [temporal] atau masa yang akan datang,
maka akadnya tidak sah, misalnya : "Jika tiba awal bulan depan,
maka aku telah menikahkanmu" atau
" Akan aku nikahkan kamu dengan putriku jika kamu lulus ujian."
Pernyataan ijab seperti ini tidak sah, karena tergantung pada syarat yang belum
terjadi pada saat itu,[54].
Berbeda halnya jka dikaitkan dengan syarat yang sudah
benar-benar terjadi, maka ia menjadi sah.
3. Pernyataan qobul harus selaras dengan pernyataan ijab dalam
berbagai sisi.
Para
ulama' sepakat bahwa jika pernyataan qobul berlainan dengan pernyataan ijab
dari satu sisi saja, maka pernikahan tersebut menjadi tidak sah. Misalnya :Jika
si wali mengatakan,"Aku nikahkan kau dengan putriku, Fatimah, dengan mahar
10 juta rupiah tunai!" kemudian di jawab oleh mempelai pria, "Aku
terima pernikahan putri anda, Aisyah dengan mahar 5 juta rupiah tunai," maka
akad nikah ini tidak sah.
4.Hendaknya pengijab tidak menarik kembali pernyataan ijabnya
sebelum pihak pria menerimanya.
Jumhur ulama' selain kalangan
madzhab Maliki berpendapat, bahwa pernyatan ijab tidak mengikat, dalam artian
pengijab berhak menarik kembali pernyataan ijabnya sebelum pihak lain
menerimanya. Jika dengan demikian, maka menjadi tidak sah. Dan jika ingin
menjadi sah, maka si pengijab harus bersikukuh memegang pernyataan ijabnya sampai
diterima oleh pihak mempelai pria. [55]
Kedua: Syarat-syarat
kualitatif yang harus dipenuhi oleh kedua belah pihak [wali dan mempelai pria].[56]
Syarat-syarat tersebut adalah:
a.
Masing-masing memiliki kapabiltas [kecakapan]
untuk menjalankan akad atau dengan kata lain, berakal, baligh, dan dewasa,
kecuali kalau ada seorang anak yang telah mumayyiz diberi kuasa oleh walinya.
b.
Kedua belah pihak memiliki hak
untuk melangsungkan akad, yaitu seorang yang berakal, baligh, dan dewasa
melakukan akad untuk dirinya sendiri atau diwakili oleh orang lain atas dasar
permintaannya, serta terpenuhinya unsur kewalian yang diberi hak oleh syari'at.
Dengan demikian, orang yang melakukan akad untuk orang lain tanpa seizin orang
tersebut akadnya menjadi tidak sah.
c.
Kedua belah pihak sama-sama
ridho [menerima secara suka rela] dan tidak ada usur paksaan [atas keputusan
dan pilihannya sendiri].
d.
Kedua belah pihak bisa
mendengarkan pernyataaan pihak lain dan bisa memahaminya.
e.
Identitas masing-masing jelas
dan ma'ruf[dikenal].yaitu jika seorang wali mengatakan ,"Aku nikahkan
kau dengan seorang putriku" tanpa menunjuk satu nama, padahal ia
memiliki lebih dari seorang anak permpuan, maka akadny tidak sah.
f. Tidak ada factor yang mengharamkan perkawinan antara kedua pasangan.
Pengajuan persyaratan dalam akad nikah
Syarat-syarat ini diklasifikasikan menjadi
tiga bagian :
1.
Syarat syarat yang sesuai
dengan maksud akad dan misi syari'at.
Misalnya, sebelum akan nikah
ditetapkan, kemudian istri mengajukan syarat kepada suami, bahwa ia berkenan
untuk dinikahi asal ia memperlakukannya dengan baik, menafkahinya, memberinya
sandang dan papan, memperlakukannya dengan adil di antara istri-istrinya yang
lain [di karenakan poligami]. Atau, suami mengajukan pada istri agar tidak
keluar rumah kecuali dengan izinnya, tidak menghalang-halanginya untuk
menggaulinya, tidak membelanjakan hartanya kecuali dengan seizinnya dan
sejenisnya.
Syarat seperti ini hukumnya menurut
kesepakatan para ulama' salaf adalah sah dan wajib dipenuhi.[57]
2.
Syarat-syarat yang bertentangan
dengan maksud akad dan melanggar hokum Allah dan syari'atNya {syarat-syarat
illegal]
Misalnya, istri bertujuan dinikahi dengan syarat ia [diizinkan]
untuk tidak mematuhinya atau boleh keluar tanpa seizinnya atau yang serupa yang
bertentangan dengan ketentuan yang diatur oleh syari'at dan begitu pula suami.
Adapun syarat seperti ini hukumnya menurut kesepakatan ulama' adalah
tidak sah karena mengandung unsur memerintahkan apa yang dilarang Allah dan
melanggar apa yang diperintahkan Allah. Rosulullah r bersabda," Apa yang ada dalam benak orang-orang itu, mereka
mengajukan syarat-syarat yang tidak terdapat dalam Kitabullah? Barang siapa
menetapkan satu syarat yang tidak terdapat pada Kitabullah, maka itu adalah
syarat yang batil. Ketentuan[syarat]
Allah adalah lebih tepat dan lebih kuat."[58]
.
Khitbah (meminang).
A. Pengertian Khitbah
Khitbah adalah meminta kesediaan seorang
wanita untuk dinikahi. Apabila seorang wanita menerima lamaran itu, maka lamaran
tersebut tidak lebih dari sekedar janji untuk menikah dan akad nikah belum
terlaksana. Maka setatus wanita tesebut masih sebagai orang asing bagi laki-laki
yang melamarnya hingga akad nikah terlaksana.
B. Hukum khitbah
Menurut jumhur ulama', lamaran bukan
termasuk syarat sahnya pernikahan. Jika suatu pernikahan dilaksanakan tanpa
lamaran, maka hukum pernikahan tersebut tetap sah. Menurut jumhur ulama', hukum
lamaran adalah boleh. Dengan dalil Firman Allah I ,"Dan tidak ada dosa bagimu untuk melamar wanita-wanita itu
dengan sindiran."[59].
Menurut kalangan madzhab Syafi'I,
hukum lamaran adalah sunah. {Al Mugni : 6/604}. Hal ini didasarkan pada
perbuatan Nabi r yang melamar Aisyah binti Abu Bakar dan Hafshoh binti Umar.
C. Batasan lamaran yang diharamkan[60].
Para
ulama' sepakat mengharamkan lamaran terhadap wanita yang sudah di lamar oleh
seorang muslim. Hal ini berlaku jika pihak wanita jelas-jelas menyatakan setuju
atas lamaran tersebut, dan si pelamar tidak mengizinkannya dilamar oleh orang
lain serta tidak meninggalkannya. Di samping itu juga, pelamar kedua
benar-benar mengetahui mengenai lamaran pertama dan mendapat persetujuan.
Kalangan madzhab Hanbali tidak
mensyaratkan adanya persetujuan terhadap lamaran tersebut secara
terang-terangan. Pendapat ini juga dikemukakan oleh Imam Syafi'i dalam salah
satu riwayat dari pendapatnya. Dengan dalil hadits Rosulullah r ,"Dan izin [seorang perawan] adalah diamnya." Dengan
demikian, sikap diam merupakan tanda persetujuannya.
Jika
seseorang melamar atas lamaran orang lain dan telah dilangsungkan akad, apakah
akadnya dianggap sah?
Dalam hal ini ada dua pendapat : [61].
- Akad nikah tersebut tidak sah dan keduanya harus diceraikan. Pendapat ini adalah salah satu dari dua pendapat Malik, Ahmad dan Daud. Ini juga yang di pilih oleh Ibnu Taimiyyah.
- Akad nikah tersebut tetap sah, hanya saja pelakunya berdosa dan dianggap telah melakukan perbuatan maksiat, pendapat ini dikemukakan oleh jumhur ulama'. Menurut mereka, tidak ada hubungan antara larangan melamar atas lamaran orang lain dengan sahnya akat nikah pelamar kedua. Lagi pula lamaran bukanlah bagian dari akad nikah, karena akad nikah sah tanpa ada lamaran sebelumnya.
Pendapat yang paling kuat menurut
Ibnu Said Salim dalam kitab "Shohih fighus sunah" adalah yang
dikemukakan oleh jumhur ulama'.
Melihat calon istri ketika melamar.
- Hukumnya
Jumhur
ulama' sepakat bahwa laki-laki yang akan menikah disyari'atkan untuk melihat
calon istri. Kamal bin Said kamil mengatakan dalam kitab "Shohih fiqhus
sunah", "hukum melihat wanita yang akan dipinang menurut para ulama'
berkisar antara mubah dan mustahab.
Dalil-dalil yang menunjukkan bolehnya melihat
pinangan.
- FirmanAllah I ," Tidak halal bagimu menikahi perempuan-perempuan sesudah itu dan tidak boleh pula mengganti mereka dengan istri-istri [yang lain] meskipun kecantikannya menarik kamu."[62].
- Hadist yang diriwayatkan dari Abu Huroiroh, dia berkata, "Aku pernah bersama Rosulullah r, tiba-tiba datang seorang lelaki mendatanginya dan menceritakan bahwa dia telah menikahi seorang perempuan anshor. Kemudian Rosulullah r bertanya kepadanya," sudahkah kau melihatnya?" Ia menjawab," Belum." Rosulullah r bersabda : "Pergilah dan lihatlah dia, sesungguhnya pada mata orang-orang anshor itu terdapat suatu kekurangan.[63].
- Hadits yang diriwayatkan Jabir, ia berkata, "Aku pernah mendengar Rosulullah r bersabda, "Apabila salah seorang diantara kalian meninang seorang perempuan, sekiranya dia dapat melihat apa yang mendorongnya untuk menikahinya, maka lakukanlah".[64].
Kamal bin Said kamil mengatakan dalam kitab
"shohih fiqhus sunah", "hukum melihat wanita yang akan dipinang
menurut para ulama' berkisar antara mubah dan mustahab dan hukum yang
kedua lebih mendekati petunjuk dalil-dali di atas. Tidak
ada seorang ulama' pun yang menyatakan hukumnya wajib apalagi menjadikannya
sebagai syarat sahnya nikah.
Syekh Islam Ibnu Taimiyyah berkata,"
Nikah dianggap sah walaupun peminang belum pernah melihat calon istrinya dan
alasan belum melihatnya tidak akan membatalkan nikah.[65]
Hikmah disyariatkannya melihat tunangan adalah agar ketenangan batin
terpenuhi di saat menjelang pernikahan. Biasanya hal ini akan berpengaruh
secara umum terhadap kelestarian rumah tangga dibandingkan apabila belum
melihatnya sampai akad nikah berlangsung. Sebab, ada kemungkinan akan
dikejutkan dengan apa yang tidak sesuai dengan harapan, sehingga timbul
kekecewaan dalam hati. Sehingga di dalam hadits Al Mughiroh bin Syu'bah, ketika
dia melamar seorang perempuan, lalu Nabi menyuruhnya, "lihatlah dia,
sesungguhnya hal itu dapat melanggengkan hubungan diantara kalian berdua."[66]
2. Batasan yang boleh dilihat dari perempuan yang
akan dipinang.
Tidak
ada perbedaan pendapat diantara ulama' tentang bolehnya melihat wajah dan
telapak tangan perempuan yang akan dipinang.[67]
Namun, mereka berbeda pendapat seputar batasan yang boleh dilihat. Ada empat
pendapat :
Pertama
: Tidak boleh dilihat kecuali wajah dan telapak tangan saja. Ini adalah
pendapat jumhur ulama' madzhab Hanafi, Maliki, Syafi'I, dan salah satu pendapat
dari kalangan madzhab Hanbali. Mereka menyatakan bahwa wajah adalah pusat
keelokan dan tumpuan pandangan mata serta bukti yang menunjukkan seorang
wanita, kedua telapak tangan menunjukkan kesintaan badannya.
Kedua
: Boleh melihat anggota tubuh yang biasa nampak. Seperti lutut, tangan, dan
kaki. Pendapat inilah yang paling shohih menurut madzhab Hanbali. Alasannya
adalah bahwa Nabi r mengizinkan untuk melihat perempuan yang
akan dipinang tanpa sepengetahuan perempuan tersebut.
Ketiga
: Boleh melihat apa yang diinginkannya, kecuali aurotnya. Pendapat ini dikemukakan
oleh Al Auza'i.
Keempat:
Boleh melihat seluruh tubuh wanita yang akan dipinang. Pendapat
ini dikemukakan oleh Daud, Ibnu Hazm,dan riwayat ketiga dari pendapat Ahmad.
Bersandar pada dhohir hadits Nabi r , " lihatlah dia".
Kesimpulan dari Ibnu Said Salim, pendapat yang rojih dan yang paling
selamat adalah ketika laki-laki meminang perempuan, maka perempuan yang
dipinang boleh memperlihatkan wajah dan kedua telapak tangan, sebagaimana yang
dikemukakan oleh mayoritas ulama'. Akan tetapi, kalau tanpa sepengetahuannya,
maka si peminang boleh melihat sesuatu yang mendorongnya untuk menikahinya. Si
peminang tidak boleh menuntut perempuan yang akan dipinang untuk memperlihatkan
selain wajah dan telapak tangannya, tapi dia cukup memahami dari kedua hal
tersebut. Bisa juga dia mengutus saudara perempuan atau ibunya untuk melihatnya
atau dia bersembunyi untuk melihatnya.
3. Apakah cukup dengan melihat foto perempuan yang akan dipinang?
Laki-laki yang akan meminang boleh
melihat foto tunangannya, baik berupa gambar fotografi atau video rekaman,
dengan alasan keumuman dalil yang menganjurkan untuk melihat perempuan yang
akan dipinang dengan tujuan untuk menikahinya. Namun, perlu digaris bawahi bahwa
cara ini mengandung unsur penipuan, karena terkadang foto atau gambar dapat
dikamuflase, sehingga seseorang nampak terlihat lebih cantik dari aslinya. Atau
bisa saja dia mengirimkan foto orang lain yang lebih cantik, dan tekadang foto
itu bisa tersebar luas dari tangan ke tangan yang dapat menyebabkan kekecewaan
pihak perempuan dan keluarganya.[68]
4. Cincin tunangan
Ada sebuah tradisi yang berkembang di
masyarakat, dimana seorang laki-laki biasanya memberikan cicin tunangan kepada
perempuan yang dipinang. Laki-laki memberikan cincin tunangan itu sambil
memegang tangan tunangannya, padahal pada saat itu masih dalam kategori
perempuan asing, baginya.dan sebaliknya. Proses pertunangan ini bukan termasuk bagian
dari ajaran islam, tapi justru tradisi raja Fir'aun atau tradisi kaum Nashroni
yang telah menyusup kedalam umat Islam. Rosulullah bersabda," Barang
siapa menyerupai sebuah kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka." [69].
Jadi, tukar cicin ini hukumnya haram,
baik cincin tersebut terbuat dari emas maupun perak.
Walimatul
Urs
Walimatul urusy Adalah jamuan makan
yang diadakan khusus dalam resepsi pernikahan. Hal ini secara hukum adalah sunah
mustahabbah mu'akkadah.[70].
Diriwayatkan dari Anas, berkata," Nabi r bersama pengantinya [Zainab binti Jahsy}, lalu beliau mengundang
orang-orang, dan orang pun menyantap makanan kemudian keluar [pulang ke rumah
masing-masing"[71]
Nabi r dalam hadist yang lain berkata kepada Abdurrahman bin Auf saat ia
menikah," “Adakanlah jamuan meski hanya dengan [menyembelih] seekor domba."[72]
Dalam hal ini, jamuan pernikahan
tidak harus dengan domba atau lainnya, akan tetapi disesuaikan dengan kemampuan
financial suami. Nabi r misalnya pernah mengadakan jamuan perkawinan beliau bersama Shofiah
hanya dengan bubur hais.[73].
Hais adalah kurma yang dikupas isinya lalu diolah dengan gandum[menjadi
bubur].
Adapun waktu yang paling tepat untuk
mengadakan walimatul urs adalah pada waktu malam pengantin atau setelahnya,
bukan pada waktu akad, merujuk pada hadist riwayat Anas mengenai perkawinan
Rosulullah dengan Zainab, "Nabi r bersama pengantinya [Zainab binti Jahsy}, lalu beliau mengundang
orang-orang, dan orang pun menyantap makanan kemudian keluar[ pulang ke rumah
masing-masing]. [74].
Sebagian ulama' mengatakan, waktunya
bebas terhitung sejak akad nikah hingga berakhirnya prosesi pernikahan.[75]
.
Undangan
walimah
Pengantin disunnahkan mengundang
orang-orang yang sholeh, baik dari kalangan miskin atau kaya, merujuk pada
sabda Nabi r," Janganlah kamu pergauli selain orang muslim dan hendaknya
tidak memakan makananmu kecuali orang yang bertaqwa.[76].
Dan disunahkan bagi kedua mempelai untuk menyediakan bagian khusus bagi para
fakir miskin. Diriwayatkan dari Abu Huroiroh t berkata, "Seburuk-buruk makanan adalah jamuan yang hanya
mengundang orang-orang kaya dan tidak mempedulikan orang-orang miskin. Dan
barang siapa yang mengabaikan undangan, maka ia telah bermaksiat [durhaka]
kepada Allah dan RosulNya.[77].
Dan bagi orang yang mendapatkan
undangan walimah dari pengantin, Jumhur ulama' berpendapat bahwa menghadirinya
hukumnya wajib, kecuali ada udzur. Sebagaimana termaktub dalam sebuah hadis
bahwa Rosulullah bersabda," Jika salah seorang dari kalian diundang ke
jamuan [walimah], maka hendaknya ia mendatanginya." [78].
Hadist Abu Huroirah," Nabi r bersama pengantinya [Zainab binti Jahsy}, lalu beliau mengundang
orang-orang, dan orang pun menyantap makanan kemudian keluar[ pulang ke rumah
masing-masing].[79]
Dalam hal ini wanita bersetatus sama
seperti pria, kecuali jika jamuan tersebut bercamput baur kalangan pria dan
wanita. Maka, jika demikian halnya, ia tidak boleh menghadirinya.
Sekalipun memenuhi undangan walaimah
hukumnya adalah wajib, namun ada beberapa kondisi yang menyebabkan seseorang
boleh untuk tidak mengahadiri undangan walimah, diantaranta adalah:
- Apabila di dalamnya disuguhkan atau digelar praktek kemungkaran, seperti minuman keras, musik dan sejenisnya. Maka dia tidak boleh datang kecuali ingin mencegahnya. Jika tidak bisa, maka ia wajib pulang. Berdasarkan hadits Ali t, ia berkata, "Aku pernah membuat sebuah jamuan makan, lalu aku undang Rosulullah r beliaupun datang, namun begitu melihat didalam rumah ada lukisan patung, beliau langsung pulang. Aku bertanya, "Wahai Rosulullah, demi ayah dan ibuku, apa yang membuat engkau terburu pulang?" beliau menjawab," Sesungguhnya di dalam rumah itu terdapat tirai yang bergambar, dan sesungguhnya Malaikat tidak masuk ke dalam rumah yang terdapat gambar-gambar[lukisan].[80].
- Pengundang hanya khusus mengundang orang-orang kaya, dan meniadakan orang-orang miskin dalam daftar undangan.
- Pengundang termasuk orang yang senang makan[makanan yang] haram dan biasa berkubang dalam hal-hal yang subhat.dan selainnya.
Kemungkaran-kemungkaran dalam resepsi pernikahan .
1. Pergi ke salon kecantikan untuk malam
resepsi
Ini
merupakan kemungkaran yang sudah menjadi kebiasaan yang tidak di cela lagi,
bahkan orang yang tidak melakukannya justru dianggap aneh. Padahal sebagian
para perias adalah laki-laki. Bagaimana mungkin seorang gadis muslim rela
menyerahkan tubuhnya pada lelaki asing untuk disentuh-sentuh? Alangkah
tercelanya seorang suami"dayyuts" yang tidak merasa cemburu dengan
istrinya.
2. Dandanan menor pengantin wanita pada
malam resepsi
Dalam hal ini hukumnya haram dan tidak diperbolehkan karena mempelai
wanita disaksikan oleh selain wanita dan selain mahromnya.
3.Kedua
mempelai didudukkan di" ranjang pengantin" yang diletakkan di
tengah-tengah undangan pria dan wanita. Ini salah besar dan diharamkan dengan
berbagai pertimbangan, diantaranya hal ini memberikan kesempatan untuk berbaur
dengan wanita, juga memberikan peluang untuk saling pandang antara pria dan
wanita, apalagi jika masing-masing berada dalam puncak perhiasannya.
4. Pengambilan gambar pesta dengan kamera
dan video shoting.
Dan masih banyak lagi berbagai kemungkaran
dalam proses walimah.
Macam macam nikah fasidah [pernikahan yang tidak
sah menuurut syar'I]
Dalam kitab Tafsir Al Qurtubi : 5:18, Imam
alqurtubi menyebutkan beberapa macam nikah yang tidak sah:.
1. Nikah syighor (Barter)
Adalah
seorang laki-laki menikahkan anak perempuan, saudara perempuan, atau budak
perempuannya kepada seorang laki-laki dengan syarat laki-laki tersebut
menikahkan anak perempuan, saudara perempuan, atau budak perempuannya kepadanya,
baik ketika adanya maskawin maupun maskawin dalam kedua pernikahan tersebut.
Para ulama' telah sepakat tentang
pengharaman nikah syighor. Jumhur
ulama' berpendapat, nikah shighor tidak sah.dengan landasan :
- Hadits yang diriwayatkan oleh Abu Huroiroh, dia berkata," Rosulullah melarang nikah shighor." Abu Huroiroh berkata," Nikah shighor adalah seorang laki-laki berkata kepada laki-laki lain," Nikahkanlah aku dengan anak perempuanmu dan sebagai gantinya aku akan menikahkanmu dengan anak perempuanku." [81].
- Hadits yang diriwayatkan dari Al A'roj, dia berkata," Al Abbas bin Abdullah bin Abbas pernah menikahkan Abdurrohman dengan anak perempuannya, dan sebaliknya Abdurrohman menikahkan Al Abbas dengan anak perempuannya. Dalam pernikahan itu keduanya membayar maskawin. Setelah mendengar pernikahan ini, Muawiyah menulis surat kepada marwan dan menyuruhnya untuk menceraikan pernikahan itu. Dalam surat, Muawiyah berkata," Ini merupakan nikah shighor yang dilarang oleh Rosulullah r ." [82]
- Sabda Rosulullah r: "Barang siapa mensyaratkat sesuatu yang tidak terdapat dalam kitabullah[Al Qur'an], maka ia tidak sah walaupun ia mensyaratkan 100 syarat. Syarat yang berasal dari Allah lebih berhak dan lebih kuat." [83]
Yang menyebabkan tidak sahnya pernikahan ini adalah adanya
persyaratan yang mengharuskan tukar-menukar[anak atau saudara perempuan.
Didalam shighot terdapat suatu kekejian yang sangat besar, yaitu adanya pemaksaan
terhadap seorang perempuan untuk menikah dengan orang yang tidak dicintainya.
Pernikahan seperti ini juga sering menimbulkan perselisihan dan perssengkataan.[84]
2.Nikah Muhallil
Gambaran dari jenis nikah ini adalah seorang laki-laki [perantara]
yang menikahi seorang perempuan yang sudah dicerai oleh suaminya sebanyak tiga
kali. Setelah laki-laki ini menikahi perempuan tersebut, ia menceraikannya
dengan tujuan suami yang pertama dapat menikahinya kembali.
Nikah muhallil termasuk dosa besar yang dilarang oleh Allah.Orang
yang menjadi perantara dan yang diperantarai dalam nikah muhallil, semuanya
dilaknat oleh Allah. Diriwayatkan dari Ibnu Masud, dai berkata," Rosulullah
r
melaknat Al Muhallil dan muhallallah[ laki-laki yang menyuruh muhallil untuk
menikahi mantan istrinya agar istri tersebut boleh dinikahinya lagi."[85].
Jumhur ulama' seperti Malik, Syafi'I dalam salah satu pendapatnya, Ahmad, Al
Laits, At Tsauri, Ibnu Mubarok, dan Ulama' lainnya, berpendapat bahwa nikah
muhallil itu tidak sah. Para sahabat seperti
Umar bin Khotob, dan Usman bin Affan juga berpendapat demikian. [86]
Diriwayatkan dari Umar bin Khotob, dia berkata," Tidaklah
dilaporkan kepadaku mengenai seorang muhallil dan muhallalah, melainkan aku
pasti akan merajam keduanya." [87]
Yang menyebabkan tidak sahnya nikah muhallil adalah karena niat
suami yang kedua, yaitu agar suami pertama bisa menikahi istrinya kembali. Hal
ini tidak lepas dari dua kemungkinan :
1.Suami yang kedua berniat menceraikannya agar suami pertama bisa
menikahi istrinya kembali, baik dengan syarat maupun tidak. Nikah ini tetap
tidak sah dan keduanya dilaknat.
2. Syaratnya ditetapkan sebelum akad nikah, tapi suami kedua berniat
lain, artinya dia tidak melakukan seperti apa yang disyaratkan kepadanya, maka
pernikahan semacam ini dianggap sah, karena dalam hal ini tidak terdapat niat
agar suami pertama dapat menikahi lagi istrinya. [88]
3. Nikah Mut'ah
Adalah seorang lelaki yang menikahi
seorang perempuan untuk waktu tertentu [sehari, dua hari, atau lebih] dengan
memberikan imbalan kepada pihak perempuan berupa harta atau lainnya. Nikah
mut'ah pernah diperbolehkan pada masa Rosulullah r, kemudian dihapus oleh Allah melalui sabda Nabi r dan beliau telah mengharamkan nikah mut'ah sampai hari kiamat. Pendapat
ini dikemukakan oleh mayoritas ulama' dari kalangan sahabat, tabi'in, imam
empat madzhab, dan ulama' lainnya. [89]
4.Nikah Sirri
Nikah sirri yang dimaksud disini adalah pernikahan tanpa wali, yaitu
seorang laki-laki menikahi seorang wanita tanpa seizin walinya. Pernikahan ini
tidak sah menurut syareat islam, sebab Rosulullah r bersabda," Tidak ada pernikahan tanpa wali."
Hukum pernikahan seperti itu ialah
keduannya dipisahkan, si wanita berhak atas mahar yang diberikan kepadanya jika
ia telah digauli dan setelah suci dari haid orang laki-laki tersebut boleh
menikahinya dengan akad dan mahar lagi jika direstui oleh wali wanita tersebut.
5.Pernikahan orang yang sedang ihrom
Yaitu pernikahan orang yang sedang ihrom dengan haji atau umroh dan
belum memasuki waktu tahallul. Pernikahan seperti itu tidak sah dan jika orang
tersebut tetap ingin menikah dengan wanita yang dinikahinya saat ihrom, ia
harus mengulangi akadnya setelah ia selesai melakukan ibadah haji, atau
umroh,Rosulullah r bersabda," Orang yang sedang ihrom tidak boleh menikahkan
dan dinikahkan." [90]
6.Pernikahan pada masa iddah
Yaitu seseorang menikahi wanita yang sedang menjalani masa iddah
karena bercerai dengan suaminya atau karena suaminya meninggal dunia. Pernikahan
seperti itu batil, tidak sah dan hukumnya ialah keduanya dipisahkan karena akad
keduanya tidak sah dan wanita tetap mendapatkan mahar jika suaminya telah
berduaan dengannya dan orang tersebut diharamkan menikahi wanita tersebut
setelah masa iddahnya selesai.
Wallohu
a’lam bis showab.
PEMBAHASAN
KHUSUS SEPUTAR WALI
Pembahasan
tentang wali perlu pendetailan khusus, sebab banyak terjadi kasus ketika wali
perempuan tidak mau menikahkan putrinya dengan seorang laki-laki, maka kedua
calon pengantin mencari alternatif wali lain tanpa seizin orangtuanya. Maka
dalam kajian ini akan dijelaskan hakekat perwalian dalam islam.
Definisi
wali
Wali berasal dari bahasa Arab. Yakni bentuk sifat musyabbahah dari kata (ولي يلي
وَْلياً) yang berarti dekat,
menguasai, dan mengurus [91]
Adapun menurut istilah syar’e wali
adalah orang yang mengurus akad pernikahan seorang wanita dan tidak
membiarkannya melakukan akad sendiri tanpa kehadirannya[92]
Peerselisihan ulama mengenai
wali sebagai syarat keabsahan pernikahan[93]
Pendapat ulama kalangan fuqoha terbagi menjadi dua ;
- Mayoritas ulama salaf maupun khalaf antara lain; Umar, Ali, Ibnu Mas`ud, Abu Hurairah, Aisyah, Malik, Syafi`I, Ahmad, Ishaq, Abu Ubaid, Ats-Tsauri dan penganut madzhab Zhahiri berpendapat bahwa wali adalah salah satu syarat keabsahan akad suatu pernikahan. Sehingga jika seorang wanita menikahkan dirinya sendiri (tanpa wali), maka nikahnya tidak sah.
- Abu Hanifah berpendapat bahwa wanita merdeka yang sudah baligh tidak disyaratkan kehadiran atau izin wali sebagai syarat keabsahan pernikahannya. Dan syarat (wali) ini hanya berlaku pada konteks pernikahan wanita yang masih belia (belum baligh). Namun wali berhak membatalkan pernikahannya jika ternyata calon suami tersebut tidak se-kufu`- dengannya.
Dalil-dalil pendapat pertama
Para fuqoha yang berpendapat bahwa wali
merupakan syarat sahnya pernikahan berdalil dengan beberapa ayat alquran dan
sunah Rosululloh saw.
Firman Allah swt
- An-Nur : 32
“Dan nikahkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu”.
Disini Allah menghimbau pada kaum
laki-laki untuk mengawinkan orang-orang yang belum menikah. Jika memang
perintah menikahkan kembali pada wanita, maka seruan di atas tidak akan di
tujukan pada orang laki-laki sebagai wali para wanita.
- Al-Qashah : 27
"Berkatalah dia (Syu'aib):"Sesungguhnya aku bermaksud
menikahkan kamu dengan salah seorang dari kedua anakku ini,"
- Al-Baqoroh : 232
"Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu habis iddahnya,
maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka menikah lagi dengan bakal
suaminya,"
Di sini Allah melarang para wali menghalangi para
janda untuk kembali pada suami mereka. Dan ini merupakan dalil yang paling
lugas mengenai posisi wali. Jika tidak, tentu penghalangannya tidak berarti
apa-apa, sebab ia (janda) bisa menikahkan dirinya sendiri tanpa membutuhkan
(perwalian) saudaranya.
- An-Nisa : 25
"Karena itu nikahilah mereka dengan
seizin tuan mereka dan berilah maskawin mereka menurut yang patut",
Disni
Allah mensyaratkan izin wali budak perempuan untuk keabsahan pernikahannya.
Sehingga hal ini menunjukkan bahwa ia ( budak perempuan) tidak bisa melakukam
akad nikah sendiri.
Hadits
Nabi saw ;
- Hadits Abu Musa ra bahwasanya Nabi saw bersabda ,
لا نكاح إلاّ بوليّ
" Tidak sah sebuah pernikahan
kecuali dengab izin wali."[94]
- Hadits Aisyah ra, bahwasanya Nabi saw bersabda,
أيما امرأة نكحت
بغيرإذن مواليها فنكاحها باطل فنكاحها باطل فنكاحها باطل ولها مهرها بما أصاب منها
فإن اشتجروا فإن السلطان وليّ من لا وليّ له
"Wanita manapun yang menikah
tanpa izin dari walinya maka pernikahannya batal, maka pernikahannya batal,
maka pernikahannya batak, dan ia berhak mendapatkan maharnya karena suami telah
menggaulinya. Maka jika para wali berselisih dalam menikahkannya, maka sulthan
adalah wali bagi orang yang tidak memiliki wali."[95]
Dalil pendapat yang kedua
Sementara Imam Abu hanifah dan para
ulama yang menyatakan bahwa wali bukanlah syarat keabsahan pernikahan,
berhujjah dengan beberapa ayat alquran dan hadis Nabi.
- Al-Baqarah : 234
Kemudian
apabila telah habis masa 'iddahnya, maka tiada dosa bagimu (para wali)
membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah
mengetahui apa yang kamu perbuat. [96]
- Al-Baqarah : 230
Kemudian
jika si suami mentalaknya (sesudah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak
halal lagi baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain. Kemudian jika suami
yang lain itu menceraikanya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami
pertama dan isteri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat
menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah, ditengkan-Nya kepada
kaum yang (mau) mengetahui. [97]
Disini
pernikahan diserahkan pada wanita, sehingga hal itu menunjukkan menikah dengan
inisiatif mereka sendiri tanpa syarat wali.
- Al-Baqarah : 232
Apabila
kamu mentalak isteri-isterimu, lalu habis iddahnya, maka janganlah kamu (para
wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya, apabila telah
terdapat kerelaaan di antara mereka dengan cara yang ma'ruf. Itulah yang
dinasehatkan kepada orang-orang yang beriman di antara kamu kepada Allah dan
hari kemudian. Itu lebih baikk bagimu dan lebih suci. Allah mengetahui, sedang
kamu tidak mengetahui. [98]
Ayat
ini bisa dijadikan dalil kebolehan menikah tanpa izin dari wali dari dua aspek
:
- Allah menyerahkan urusan nikah pada kaum wanita.
- Larangan menghalangi dalam ayat ini bisa jadi berlaku bagi mantan suami mereka. Intinya ayat ini melarang suami untuk menghalangi istri-istri mereka yang telah mereka cerai –setelah habis masa iddah mereka- untuk menikah dengan calon suami yang mereka inginkan.
- Hadits Ibnu Abbas, bahwasanya Nabi saw bersabda,
الأيم أحقّ بنفسها من
وليّها والبكر تستأذن في نفسها وإذنها صمانها
"Janda lebih berhak atas
dirinya dari walinya, dan perawan dimintakan izin (jika wali ingin menikahkan)
dari dirinya, dan izin seorang perawan adalah diamnya."[99]
Pendapat
yang shahih adalah wali merupakan syarat keabsahan suatu pernikahan
ditinjau dari beberapa segi :
- Berdasarkan asbabun nuzul[100] Al-Baqarah : 232 mementahkan penakwilan bahwa urusan pernikahan wanita diserahkan pada dirinya sendiri.
- Adapun hadits Ibnu Abbas memiliki dua kerancuan dari dua pertimbangan;
- Indikasi terjauh yang ditunjukkan pada hadits tersebut adalah bahwa wali memiliki hak untuk menikahkan janda dan janda memiliki hak untuk menikahkan dirinya sendiri. Namun hak janda atas dirinya lebih unggul dari hak walinya, sehinga walinya tidak begitu saja menikahkan tanpa izin darinya. Sedangkan hak wali atas perawan lebih besar dibandingkan atas dirinya sendiri. Karena itu, ia cukup mengetahui persetujuannya melalui sikap diamnya.
- Jika memang hadits ini memiliki pengertian sebagaimana yang mereka maksudkan, maka secara otomatis berkonsekuensi bahwa pernikahan tanpa wali lebih utama, dan hal ini bertentangan dengan pendapat dari kalangan madzhab Hanafi sendiri yang mensunnahkan adanya wali (dalam keadaan normal)
Syarat syarat wali
Seorang
wali harus memenuhi syarat sebagai berikut :
- Islam. Seorang wali harus beragama Islam sebab tidak ada kewalian bagi orang kafir atas seorang muslimah. Allah swt berfirman,
"Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian
mereka (adalah) menjadi penolong sebagian yang lain" [101]
Firman
Allah swt, "dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan
kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman." [102]
Ini
adalah pendapat segenap ulama, bahkan Ibnu Mundzir mangatakan, "Semua
orang yang kami gurui bersepakat menetapkan hal ini."
b.
Laki-laki;
ini adalah syarat yang disepakati secara ijma`
- Berakal; sebab orang yang tidak berakal tidak bisa menjaga kemaslahatan dirinya, lalu bagaimana mungkin ia bisa menjaga kemaslahatan orang lain.
- Baligh; ini menjadi syarat sebagian besar ulama
- Merdeka; juga menjadi syarat sebagian besar ulama, sebab budak tidak memiliki otoritas kewalian atas dirinya, apalagi terhadap orang lain.
Imam Syafi`I[103]
dan Ahmad[104]
dalam satu riwayat menambahkan satu syarat lagi, yaitu adil. Dia beralasan,
jika seseorang tidak adil, maka dikhawatirkan ia akan memilihkan pasangan yang
tidak se-kufu` dengan wanita yang berada di bawah perwaliannya.
Namun
syarat ini ditepis oleh jumhur ulama yang tidak menganggapnya sebagai syarat
kualitatif bagi seorang wali, sebab pemilihan pasangan yang se-kufu`
oleh wali bagi wanita yang berada di bawah perwaliannya bukanlah persoalan adil
atau tidak, melainkan soal kekhawatiran akan mendapat malu, ini sudah menjadi
tabiat semua orang.[105]
Urutan wali nikah
Kalangan
ulama berbeda pendapat mengenai siapakah wali yang paling berhak dan bagaimana
urutannya.
Menurut
kalangan Madzhab Hanafi, urutan wali yang paling berhak menikahkan adalah
anak-anak si perempuan, kemudian anak-anak mereka (cucunya), lalu ayah,
kemudian kakek, saudara, anak-anak saudara (keponakan), paman, lalu anak-anak
paman (sepupu).
Sementara
menurut kalangan madzhab Maliki, urutannya adalah anak-anak, kamudian anak-anak
mereka (cucu), kemudian ayah, lantas saudara, kemudian anak-anak saudara
(keponakan), kemudian kakek.
Sedangkan
menurut Syafi`I, ayah, kemudian kakek, lantas saudara, kemudian anak-anak
mereka (keponakan), kemudian paman, lalu anak-anak mereka (sepupu).
Adapun
menurut madzhab Hanbali, urutannya adalah ayah, kemudian kakek, lalu anak-anak
kemudian anak-anak mereka (cucu), kemudian saudara lantas anak-anak mereka
(keponakan), kemudian paman lalu anak-anak mereka (sepupu).
Abu
Kamal Malik bin As-Sayyid Salim merajihkan pendapat kalangan madzhab Syafi'I,
karena barometer wali adalah kedekatan dan semangat menjaga kemaslahatan wanita
dan melindunginya. Dan tidak diragukan lagi bahwa ayah adalah wali yang paling
dekat. Dialah yang paling mengasihi dan menyayangi puterinya, disusul kemudian
oleh kakek.[106]
Macam-macam wali[107]
- Menurut Hanafiyah
Kalangan Hanafiyah membagi perwalian
menjadi tiga, yakni perwalian atas nafs (personal), perwalian atas maal
(harta), dan perwalian atas jiwa dan harta secara bersamaan.
Perwalian
atas personal yaitu perwalian yang secara khusus mengurusi permasalahan
personal seperti, hak atas pernikahan, pengajaran, pengobatan, dan pekerjaan.
Perwalian ini adalah otoritas ayah, kakek, dan seluruh wali.
Perwalian
atas harta yaitu perwalian untuk
mengatur persoalan harta seperti, pengembangan harta, penyaluran,
pemeliharaannya, dan infak. Hak perwalian ini berlaku bagi ayah, kakek, orang
yang menerima wasiat dari keduanya, serta orang yang menerima wasiat dari
qadhi.
Perwalian atas
personal dan harta sekaligus hanyalah otoritas dari ayah dan kakek. Perwalian nikah yang termasuk dalam pewalian
atas personal ini mereka bagi menjadi dua yakni wali mujbir dan wali ikhtiyar.
Wali mujbir ialah wali yang memiliki otoritas
untuk memaksakan perkataannya pada orang lain. Mereka yang meiliki hak ini
disebabkan oleh empat sebab yakni kekerabataan, kepemilikan, perwalian, dan
imamah.
Adapun wali ikhtiyar adalah hak wali untuk
menikahkan wanita yang berada di bawah perwaliaannya dengan seiizin dan ridha
darinya.
- Menurut kalangan Malikiyah
Menurut Malikiyah perwalian terbagi
menjadi khashash (khusus) dan aammah (umum). Perwalian khusus ini
baerlaku bagi enam orang yang ditentukan yakni ayah, orang yang menerima wasiat
darinya, kerabat, ashabah, orang yang memerdekakan budak, dan sulthan. Dan
berlaku bagi setiap muslim.
- Menurut Syafi'iyah
Menurut mereka perwalian terbagi
menjadi dua yakni perwalian ijbariyah dan perwalian ikhtiyariyah.
Perwalian ijbariyah menurut mereka khusus untuk ayah dan kakek jika ayah tidak
ada atau berhalangan. Perwalian ini memberikan otoritas bagi wali untuk
menikahkan anak gadis mereka baik yang masih anak-anak ataupun dewasa tanpa
seizin darinya. Adapun perwalian ikhtiyariyah berlaku untuk setiap wali
untuk menikahkan gadis yang berada di bawah perwaliannya namun dengan seizinnya
dan tidak mempunyai otoritas untuk memaksa.
- Menurut Hanabilah
Pembagian wali menurut Hanabilah
sama seperti Syafi'iyah, hanya saja menurut mereka perwalian ijbariyah
sama seperti urutan yang ditetapkan oleh Malikiyah, yakni; ayah, orang yang
mendapat wasiat darinya, kemudian hakim (penguasa).
Jadi, wali mujbir menurut kalangan
Hanafiyah, Malikiyah, dan Hanabilah adalah; ayah, orang yang mendapat wasiat
darinya, dan sulthan. Sedang menurut Syafi'iyah yang memiliki otoritas tersebut
adalah hanya ayah dan kakek.
Hukum seputar wali
- Hukum wali memaksa janda atau perawan untuk menikah
Seorang janda tidaklah
dinikahkan oleh walinya, baik ia adalah bapaknya ataupun yang lainnya kecuali
dengan seizin darinya. Ini adalah pendapat kalangan Asy-Syafi`iyah[108] berdasarkan
hadits Khansa` binti Khidam Al-Anshariyah seorang janda yang ketika bapaknya
menikahkannya ia tidak menyenanginya, kemudian ia pun mendatangi Rasulullah
saw, lalu beliaupun membatalkannya.[109]
Hadits Abu
Hurairah ra, bahwasanya Rasulullah saw bersabda,
(لا تنكح الأيّم حتى تستأمر ولا
تنكح البكر حتى تستأذن) قالوا : يا رسول الله وكيف إذنها ؟ قال : (أن تسكت)
"Seorang janda tidaklah
dinikahkan hingga dimintakan pertimbangan darinya, dan dinikahkan gadis perawan
hingga dimintakan izin darinya. Para sahabat bertanya, "Wahai Rasulullah !
bagaimana bentuk izinnya? Beliau menjawab, "Dengan diamnya."
Wanita
yang hilang keperawanannya karena nikah yang halal, atau nikah syubhat atau
zina, status dirinya disamakan dengan janda, sehingga tidak diperkenankan bagi
walinya untuk menikahkannya kecuali dengan izin darinya dan tidak ia boleh
memaksanya. Ini adalah pendapat Asy-Syafi'I, Ahmad, pengikut Abu Hanifah, dan
madzhab Abu Hanifah sendiri jika itu (zina) terulang kembali. Adapun jika hal
tersebut disebabkan oleh selain zina. Maka statusnya sama seperti perawan
menurut pendapat Imam madzhab yang empat.[110]
Dan
jika seorang wali menikahkan janda tanpa seizin darinya, lalu iapun rela
terhadap pilihan walinya tersebut, menurut pandapat Abu Hanifah, Malik, dan
Ahmad dalam satu riwayat, akad nikahnya
tetap sah dan tidak perlu untuk mengulanginya lagi.
Sedang
menurut Asy-Syafi'iyah –dan satu riwayat dari Ahmad- , akad nikah tersebut
tidak sah tanpa seizin darinya, dan harus diulangi.
Sedang
mengenai perawan, menurut kalangan Asy-Syafi`iyah, wali diperbolehkan
memaksa untuk menikahkannya tanpa seizin darinya terlebih dahulu. Demikian ini
jika wali tersebut adalah ayah ataupun kakek (dari sebelah ayah) karena
kesempurnaan kasih sayang mereka berdua kepadanya. Dan harus dengan seizinnya
jika wali tersebut bukan ayah ataupun kakek. Namun demikian, jika meminta izin
terlebih dahulu hal ini akan lebih utama.[111]
Hal
ini berdasarkan sabda nabi saw, "Janda lebih berhak atas dirinya dari
walinya, dan perawan dimintakan izin (jika wali ingin menikahkan) dari dirinya,
dan izin seorang perawan adalah diamnya."[112] Dan izin disini adalah mustahab bukan
wajib.
Adapun
Abu Hanifah dan Daud (azh Zhahiri) keduanya mengharuskan wali untuk meminta
izin kepada wanita yang berada di bawah perwaliannya jika ia ingin
menikahkannya. Mereka berdalil dengan
keumuman sabda Nabi r , "Seorang perawan dimintakan
izin darinya (jika wali ingin menikahkannya) dan izinnya adalah dengan diamnya.[113]
Pendapat
yang rajih yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah[114]
adalah wali tidak boleh memaksa gadis perawan untuk menikah tanpa seizin
darinya.
- Jika wali dalam satu tingkatan berselisih
Jika seorang wanita memberikan izin
kepada kedua walinya yang dalam satu tingkatan, maka hendaknya wali yang lebih
berhak didahulukan untuk menikahkannya adalah wali yang paling faqih karena ia
lebih mengetahui mengenai hukum-hukum seputar pernikahan, kemudian yang paling
wara' karena ia lebih besar kasih sayang dan perhatian kepadanya, lalu yang
paling tua usianya.[115]
Apabila setiap wali tersebut
bersikeras untuk menjadi wali dalam akad pernikahannya, ditinjau dari
beberapa dua aspek ;
- Peminang; jika peminang lebih dari satu, maka yang terpillih adalah peminang yang diridhai dan disenangi oleh si wanita. Dan jika ternyata semua peminang ia ridhai untuk menjadi calon suaminya, maka seorang Qadhi berhak menentukan calon yang paling sukufu' dan pantas untuk dirinya.
- Wali; jika masing-masing wali bersikeras sedang mereka memiliki kapabelitas (faqih, wara` dan usia) yang sama, maka diadakan undian diantara mereka.
Kemudian jika kedua walinya tersebut
mengadakan akad pernikahannya, maka wali yang
pertama kali melakukan akad itulah yang dikedepankan. Hal ini sesuai
dengan hadits Samurah bahwasanya Nabi r bersabda, "Wanita mana saja
yang dinikahkan oleh dua orang wali, maka perwaliannya diserahkan kepada yang
lebih dahulu diantara mereka."[116]
- Wali memberikan mandat atau wasiat pada orang lain untuk menikahkan
Seorang wali diperkenankan mewakilkan kepada seseorang
untuk menikahkan seorang wanita yang
berada di bawah perwaliannya. Baik wali tersebut telah menentukan sang
calon suami ataupum belum. Seperti perkataan seorang wali kepada orang yang
akan mewakilinya, "Jika kamu menemukan orang yang engkau ridhoi maka
nikahkanlah ia dengannya."
Dalam proses (wakalah) perwakilan ini tidak
disyaratkan izin dari wanita dan tidak pula disyaratkan kehadiran dua orang
saksi yang adil. Karena perwakilan ini sejatinya adalah izin dari wali kepada
seseorang untuk menikahkan. Dan orang yang diberikan mandat ini tidak mempunyai
hak untuk melakulan persetubuhan dengan wanita tersebut. Sehingga hal ini tidak
memerlukan izin dari wanita dan juga dua orang saksi.[117]
Wali berhak
memberikan mandat kepada orang lain untuk menikahkan wanita yang bereda di
bawah perwaliannya, dan disini yang diberikan mandat memiliki hak yang sama
dengan wali.
Adapun pemberian wasiat kepada orang lain untuk
menikahkan wanita yang berada di bawah perwaliannya setelah kematiannya menurut
pendapat yang shahih diantara dua pendapat yang berkembang dalam permasalahan
ini adalah tidak boleh. Perwalian tidak bisa diperoleh dengan system wasiat,
sebab pemberi wasiat kehilangan hak kewaliannya begitu ia meninggal dunia, dan
rasa kasih sayang serta empati yang menjadikan ia sebagai wali tidak ada pada
orang yang telah meninggal dunia maupun pada orang yang diberi wasiat.[118]
Ini adalah pendapat Abu Hanifah, Syafi'I, Ahmad dalam
satu riwayat, ats-Tsauri, an-Nakha'I, Ibnu Mundzir, Ibnu Hazm dan Syaukani.
- Jika wali menghalangi menikah
Jika seorang wanita meminta kepada
walinya untuk menikahkannya dengan seorang pemuda yang sekufu' dengannya
kemudian walinya tersebut tidak memberi izin atau bahkan menghalanginya untuk
menikah, maka hak perwalian berpindah kepada wali yang lebih jauh, dan jika
ternyata tidak ada satu walipun yang menikahkannya, wanita tadi boleh meminta
sulthan untuk menjadi wali baginya. Sebagaimana pendapat Syafi'I dan Ahmad.
Ini
berdasarkan sabda Nabi r "…maka sulthan adalah
wali bagi wanita yang tidak mempunyai wali."
Dalam
pendapat yang masyhur, Abu Hanifah bahkan berpendapat perwalian ini bisa
berpindah tangan kepada pihak keluarga yang paling jauh dengan syarat jika
calon suami sekufu'.
- Wali menikahi orang yang berada di bawah kewaliannya
Jumhur ulama
diantaranya, al- Auza'I, ats Tsauri, Abu Hanifah, Malik, al- Laits, Ibnu Hazm,
dan lainnya berpendapat bahwa barang siapa yang memegang perwalian seorang
wanita –dan ia bukan termasuk mahramnya- maka ia boleh menikahinya sendiri jika
wanita tadi meridhainya, dan di sini ia tidak membutuhkan wali orang lain untuk
menjadi wali baginya.
Hujjah yang mereka pergunakan diantaranya;
1. Firman Allah swt, Dan kawinkanlah
orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang patut (kawin)
dari hamba-hamba sahayamu yang perempuan.Jika mereka miskin Allah akan
memampukan mereka dengan kurnia-Nya.Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi
Maha Mengetahui. [119]
Barang siapa yang menikahi sendiri budak sahayanya dengan
keridhaannya, maka ia boleh melakukan apa yang Allah perintahkan dan Allah tidak
menghalangi orang yang seharusnya menikahi budak tersebut untuk menikahinya
sendiri.
2. Firman Allah swt, Dan mereka minta
fatwa kepadamu tentang para wanita. Katakanlah:"Allah memberi fatwa
kepadamu tentang mereka, dan apa yang dibacakan kepadamu dalam al-Qur'an (juga
memfatwakan) tentang para wanita yatim yang kamu tidak memberikan kepada mereka
apa yang ditetapkan untuk mereka, sedang kamu ingin mengawini mereka dan
tentang anak-anak yang masih dipandang lemah. Dan kebajikan apa saja yang kamu
kerjakan, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahuinya". [120]
Menafsiri ayat ini Aisyah ra berkata, "(Ayat) ini
turun pada seorang anak wanita yatim yang di asuh oleh seorang laki-laki dengan
harapan ia bisa menjadi rekanannya dalam harta, namun lelaki tadi tidak mau
menikahinya dan tidak mau menikahkannya dengan orang lain karena khawatir orang
lain akan ikut menikmati harta anak yatim tersebut, ia pun menghalanginya tanpa
menikahinya ataupun menikahkannya, maka Allah melarang perbuatan seperti
itu."
3. Hadits Sa'id
bin Khalid bahwasanya Ummu Hakim binti Qarizh berkata pada Abdurrahman bin Auf,
"Ada lebih dari satu orang yang telah datang meminangku, maka nikahkanlah
aku dengan salah seorang dari mereka yang anda pandang layak, Ia menukas, "Apakah
aku termasuk diantara pilihanmu itu. Ia menjawab, "Ya" ia
berkata, "Aku nikahi kamu."
Pendapat yang berbeda dikemukakan oleh imam Syafi'I dan
Daud Azh- Zhahiri. Keduanya berpendapat wali tidak berhak menikahkan dirinya
sendiri dengan wanita yang berada di bawah perwaliannya, melainkan hendaknya
orang lain yang menikahkannya, berdasarkan argumentasi sebagai berikut,
1.Pernikahan Nabi r tersebut pada dasarnya
adalah suatu kekhususan bagi beliau, sehingga ada dalil yang menunjukkan
keumumannya, mengingat begitu banyaknya kekhususan yang hanya berlaku bagi Nabi
r, sehingga hadits
yang menerangkan bahwa Nabi r menikahi Shafiyah tidak bisa di jadikan dalil
mengenai kebolehan menikahi wanita yang menjadi perwaliannya.
2.Orang yang menikahi tidak
boleh berstatus orang yang menikahkan, sebagaimana larangan dualisme menjadi
hakim sekaligus menjadi saksi.
Abu Malik Kamal
bin as-Sayyid Salim berkata," Pendapat yang membolehkan lebih kuat
mengingat tidak adanya dalil yang melarang, meski ada hipotesis bahwa
pernikahan Nabi r bersifat khusus
dan ini merupakan sebuah aksioma (qoth'i) yang tidak bisa dibantah
kebenarannya, namun hadits-hadits yang menganjurkan untuk menikahi budak
perempuan setelah mengajari dan membebaskannya menuntut keumumam pemberlakuan
permasalahan ini (bagi selain Nabi r ).[121]
Sementara mengenai klaim larangan orang menikahi
sekaligus yang menikahkan, Ibnu Hazm mengatakan, "Kami berbeda pendapat
dengan mereka (Syafi'I dan Daud azh-Zhahiri) dan menurut kami boleh saja
seseoang menjadi orang yang menikahi sekaligus yang menikahkan. Klaim mereka ini sama dengan klaim orang yang tidak membolehkan membeli
sesuatu dari dirinya sendiri, yang notabene tidak dibenarkan oleh Syafi'I, akan
tetapi boleh-boleh saja menurutnya jika orang yang dipasrahi untuk menjual
sesuatu kemudian membelinya.
Sulthan
Dalam
"Al-Mughni" disebutkan bahwa yang dimaksud dengan sulthan pada
hadits adalah imam, atau penguasa, atau orang yang diserahi hak perwalian
kepadanya oleh seorang imam. Termasuk dalam pengertian sulthan di sini dalam
satu riwayat dari Ahmad adalah 'wali balad' (gubernur).[122]
Jika
ahli buhgat berhasil menguasai suatu negeri, maka hukum penguasa (imam)
mereka dan qadhi mereka sebagaimana hukum imam dan qadhi negeri
tersebut sebelum negeri tersebut dikuasai oleh ahli bughat. Ini disebabkan
penguasa yang baru ini melaksanakan pekerjaan yang dilaksanakan oleh penguasa
sebelumnya.[123]
Orang yang berhasil mengislamkan seseorang
Terjadi
perbedaan pendapat dalam kalangan Hanabilah mengenai seseorang yang berhasil
mengislamkan orang lain, apakah ia bisa sebagai wali dalam pernikahan seorang
wanita? Dalam satu riwayat dari Ahmad, ia tidak bisa menikahkannya hingga
sulthan tiba, demikian ini dikarenakan ia bukan termasuk ashabul ashabah,
bukan pula kerabat, dan bukan pula ahli waris darinya, sehingga ia mirip dengan
ajnabi (orang asing). Dan dalam riwayat lain ia bisa menjadi wali dan
boleh menikahkannya.
Apabila wali dan sulthan tidak ada[124]
Jika
ternyata seorang wanita tidak mempunyai wali untuk menikahkan dirinya atau
sulthan sebagai ganti wali bagi dirinya pada waktu itu tidak ada, maka ia boleh
dinikahkan oleh seorang muslim yang adil dengan seizin darinya.[125]
Kesimpulan
- Wali merupakan syarat keabsahan dalam suatu akad pernikahan. Sehingga dengan demikian, suatu pernikahan tidak akan di legitimasi syar'i tanpanya.
- Setiap calon mempelai wanita, baik ia adalah perawan apalagi seorang janda, seorang wali tidak diperkenankan untuk memaksanya menikah dengan seorang pemuda yang tidak disenanginya tanpa seizin darinya.
- Seorang wali yang menghalangi untuk menikahkan puterinya dengan seorang pemuda yang se-kufu' dengannya, maka perwalian dapat berpindah kepada wali yang lebih jauh.
- Sulthan yang dimaksud dalam hadits adalah seorang imam, atau penguasa, orang yang diserahi hak perwalian oleh imam, dan bisa juga wali balad.
Wallohu a'lam bis showab.
[23] diriwayatkan Al-Baihaqi dan
Ad-Daruquthni. Hadits ini cacat dan juga diriwayatkan Imam Syafi'I secara
mursal. Imam Syafi'I berkata,
"sebagian ulama' mengamalkannya."begitu pula dikatakan At-Tirmidzi
[36] Hadits shohih ; ditakhrij oleh Abu Daud
[2106], At Tirmidzi [1114], An Nasa'I [6/117], Ibnu Majjah [1887
[93] Idem (3/142/143)
[100] Asbabun nuzul ayat ini dikisahkan oleh
Al Bukhari dan lainnya dari MA'qil bin Yasar, tuturnya, "Aku menikahkan
saudariku (Jumail) dengan seorang laki-laki (Abu Al Baddah bin Ashim Al
Anshari), lalu ia menceraikannya, lalu ketika masa iddahnya (hampir) habis ia
datang meminangnya kembali, maka aku katakana kepadanya, "Dulu aku
nikahkan kamu dengan (saudariku) serta aku jadikan ia sebagai ranjangmu dan aku
muliakan kamu, namun malah kamu menceraikannya, lalu sekarang kamu datang
hendak meminangnya ?! Tidak,
Demi Allah, ia tidak akan kembali kepadamu selama-lamanya!" Laki-laki itu
terbilang lumayan, dan si wanita ingin ruju' kepadanya. Serta merta
Allah menurunkan ayat, "…maka janganlah kamu para wali menghalangi
mereka menikah lagi dengan bakal suaminya". (Mendengar ayat
tertsebut), aku (Ma'qil) berkisah, "Sekarang aku akan menikahkannya, wahai
Rasulullah." Perawi mengisahkan, "Ma'qil pun menikahkan saudarinya
dengan laki-laki tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar