Panjat
pinang yang memilukan
Bulan
Agusatus tiba. Keriuhannya melibatkan banyak acara dan lomba. Salah satu yang
tak pernah tertinggal adalah panjat pinang. Tujuh hingga sepuluh orang tak
berbaju, hanya bercelana pendek, memeluk batang pinang yang licin oleh oli,
gemuk
, dan air. Mereka saling menginjak, melawan licin hingga belepotan wajah dan seluruh badan, menuju puncak batang pinang yang digantungi aneka hadiah.
, dan air. Mereka saling menginjak, melawan licin hingga belepotan wajah dan seluruh badan, menuju puncak batang pinang yang digantungi aneka hadiah.
Konon
tradisi ini mengandung nilai positif. secara bersama-sama menaklukan tantangan
berat, melawan kesulitan dengan mengerahkan tenaga dan kerja sama. Konon ada
nilai gotong royong dan kekeluargaan didalamnya.
Tradisi unik
ini juga Dipelihara karena menghibur banyak orang. Petnonton tertawa geli
melihat orang menginjak kepala temannya, wajah yang coreng-moreng oli dihiasi
bibir meringis menahan berat orang di atasnya. Licinnya oli menambah seru suasana,
berkali jatuh, merosot, bangun dan
memanjat untuk merosot lagi.
Festival hantu
Ada pendapat
yang memperkirakan bahwa panjat pinang adalah pengaruh budaya cina. Sebagaimana
petasan yang juga mentradisi di negri ini. Panjat pinang 17 agustusan memang
berdekatan dengan perayaan bulan 7 imlek yang sering jatuh di bulan
Agustus-September setiap tahunnya.
Dalam kebudayaan
tiongkok, prosesi panjat pinang popular di Tiongkok selatan (Fujian, Guangdong,
Taiwan) berkaitan dengan perayaan festival hantu. Perayaan ini tercatat pertama kali pada zaman
Dinasti Ming, lumrah disebut sebagai “qiang-gu”. Namun pada zaman Qing,
permainan panjat pinang ini pernah dilarang pemerintah karena sering timbul
korban korban jiwa.
Kemudian,
sewaktu Taiwan berada di bawah pendudukan Jepang, panjat pinang mulai
dipraktekkan lagi dalam perayaan festival hantu. Tata cara permainan lebih
kurang sama, dilakukan beregu, dengan banyak hadiah digantungkan di atas. Namun
harus dipanjat adalah bangunnan dari pinang dan kayu yang puncaknya bisa sampai
3-4 tinggkat bangunan gedung. Untuk meraih juara pertama, setiap regu harus
memanjat sampai puncak untuk menurunkan gulungan merah yang di kaitkan di sana.
Tradisi penjajah
Di Indonesia,
tradisi panjat pinang dipopulerkan oleh penjajah Belanda. Para meneer dan
mevrouw, tuan dan nyonya besar di Holland, biasa menggelar panjat pinang dalam
perayaan mereka. Semisal hajatan, pernikahan, dan lain lain. Peserta lomba ini
adalah orang-orang pribumi.
Mereka keluar
sedikit modal untuk membeli batang pinang dan hadiah yang murah meriah untuk
ukuran kantong mereka yang penuh harta jarahan. Hadiah yang diperebut biasanya
bahan makanan seperti keju dan gula, serta pakaian seperti kemeja. Bagi kalangan
pribumi barang-barangseperti ini termasuk mewah.
Dengan sedikit
gulden, orang-orang Belanda bisa membeli hiburan. Menikmati penderitaan pribumi
miskin yang negrinya dan dijarah hartanya. Melihat wajah-wajah sawo matang
menjadi hitam berlumuran oli, saling menginjak sesamanya untuk berebut roti. Semua
itu jadi bahan tertawaan dan hiburan mereka.
Disisi lain,
kaum pribumi yang tak sadar harga diri dan kehormatannya juga enjoy saja. Yang penting
dapat kesempatan beroleh hadiah mewah untuk ukuran hidup yang pas-pasan. Menginjak
saudra pun taka pa.
Dua sisi
Ada dua sisi
utama dalam panjat pinang. Peserta yang sengsara bersusah payah dan penonton
yang menikmati hiburan lucu berupa penderitaan para peserta. Kalau direnungkan,
agak mirip dengan pertarungan di Collosium Romawi. Tempat para budak gladiator
ditarungkan dengan singa atau sesamanya.
Dr. Abdullah
Azzam mengomentari bahwa peradaban Kristen Barat mewarisi kekejaman Romawi. Kegemaran
menyiksa dan menarungkan para budak dengan binatang adalah cermin budaya “menikmati
penderitaan orang lain”. Hal ini yang hingga kini dilestarikan di dunia hiburan
Barat seperti Hollywood yang dikuasai Yahudi.
Kembali ke
panjat pinang, memang tidak sekejam tontonan era Romawi. Para peserta haya
berlumuran oli, tak berlumuran darah seperti para budak yang diterkam singa
atau di sabet pedang lawannya. Tapi unsurnya tetap sama: penonton bersuka ria
menikmati penderitaan orang lain. Penderitaan menjadi hal lucu yang
ditertawakan.
Melihat antusias
Pribumi memanjat batang pinang, penjajah Belanda pun semakin meyakini
superioritas mereka. Devide et impera, dipecah belah kemudian dijajah,
berlanjut dengan mengibuli pribumi dengan de pandjat pinang, pribumi miskin
disatukan untuk saling injak berebut hadiah murah.
Sayang, sejarah
memilukan ini tak pernah dikenal(atau dilupakan) oleh kaum pribumi negri ini. Semboyan
jahiliyah “tradisi ini kami lakukan karena turun temurun dilakukan oleh
bapak-bapak kami” agaknya lebih kuat melekat dari pada kesadaran akan harga
diri dan kehormatan.
Maka, setiap
tahun, tradisi panjat pinang terus berlangsung. Inilahwarisan penjajahan
dibawah alam bawah sadar yang diwariskan secara turun temurun. Karakter ini
agaknya yang membuat Belanda, negri seupil yang kebanjiran jika bendungan
penahan air lautnya jebol, bisa menjajah negri ini 350 tahun. Bukan sepenuhnya
salah Belanda, memang ada orang-orang yang menikmati dijajah.)*(Togar)
Sumber majalah
an najah edisi 83
Tidak ada komentar:
Posting Komentar