Kamis, 09 Agustus 2012

PANJAT PINANG YANG MEMILUKAN


Panjat pinang yang memilukan


Bulan Agusatus tiba. Keriuhannya melibatkan banyak acara dan lomba. Salah satu yang tak pernah tertinggal adalah panjat pinang. Tujuh hingga sepuluh orang tak berbaju, hanya bercelana pendek, memeluk batang pinang yang licin oleh oli, gemuk
, dan air. Mereka saling menginjak, melawan licin hingga belepotan wajah dan seluruh badan, menuju puncak batang pinang yang digantungi aneka hadiah.

Konon tradisi ini mengandung nilai positif. secara bersama-sama menaklukan tantangan berat, melawan kesulitan dengan mengerahkan tenaga dan kerja sama. Konon ada nilai gotong royong dan kekeluargaan didalamnya.

Tradisi unik ini juga Dipelihara karena menghibur banyak orang. Petnonton tertawa geli melihat orang menginjak kepala temannya, wajah yang coreng-moreng oli dihiasi bibir meringis menahan berat orang di atasnya. Licinnya oli menambah seru suasana, berkali  jatuh, merosot, bangun dan memanjat untuk merosot lagi.

Festival hantu
Ada pendapat yang memperkirakan bahwa panjat pinang adalah pengaruh budaya cina. Sebagaimana petasan yang juga mentradisi di negri ini. Panjat pinang 17 agustusan memang berdekatan dengan perayaan bulan 7 imlek yang sering jatuh di bulan Agustus-September setiap tahunnya.

Dalam kebudayaan tiongkok, prosesi panjat pinang popular di Tiongkok selatan (Fujian, Guangdong, Taiwan) berkaitan dengan perayaan festival hantu.  Perayaan ini tercatat pertama kali pada zaman Dinasti Ming, lumrah disebut sebagai “qiang-gu”. Namun pada zaman Qing, permainan panjat pinang ini pernah dilarang pemerintah karena sering timbul korban korban jiwa.

Kemudian, sewaktu Taiwan berada di bawah pendudukan Jepang, panjat pinang mulai dipraktekkan lagi dalam perayaan festival hantu. Tata cara permainan lebih kurang sama, dilakukan beregu, dengan banyak hadiah digantungkan di atas. Namun harus dipanjat adalah bangunnan dari pinang dan kayu yang puncaknya bisa sampai 3-4 tinggkat bangunan gedung. Untuk meraih juara pertama, setiap regu harus memanjat sampai puncak untuk menurunkan gulungan merah yang di kaitkan di sana.

Tradisi penjajah
Di Indonesia, tradisi panjat pinang dipopulerkan oleh penjajah Belanda. Para meneer dan mevrouw, tuan dan nyonya besar di Holland, biasa menggelar panjat pinang dalam perayaan mereka. Semisal hajatan, pernikahan, dan lain lain. Peserta lomba ini adalah orang-orang pribumi.

Mereka keluar sedikit modal untuk membeli batang pinang dan hadiah yang murah meriah untuk ukuran kantong mereka yang penuh harta jarahan. Hadiah yang diperebut biasanya bahan makanan seperti keju dan gula, serta pakaian seperti kemeja. Bagi kalangan pribumi barang-barangseperti ini termasuk mewah.

Dengan sedikit gulden, orang-orang Belanda bisa membeli hiburan. Menikmati penderitaan pribumi miskin yang negrinya dan dijarah hartanya. Melihat wajah-wajah sawo matang menjadi hitam berlumuran oli, saling menginjak sesamanya untuk berebut roti. Semua itu jadi bahan tertawaan dan hiburan mereka.

Disisi lain, kaum pribumi yang tak sadar harga diri dan kehormatannya juga enjoy saja. Yang penting dapat kesempatan beroleh hadiah mewah untuk ukuran hidup yang pas-pasan. Menginjak saudra pun taka pa.

Dua sisi
Ada dua sisi utama dalam panjat pinang. Peserta yang sengsara bersusah payah dan penonton yang menikmati hiburan lucu berupa penderitaan para peserta. Kalau direnungkan, agak mirip dengan pertarungan di Collosium Romawi. Tempat para budak gladiator ditarungkan dengan singa atau sesamanya.

Dr. Abdullah Azzam mengomentari bahwa peradaban Kristen Barat mewarisi kekejaman Romawi. Kegemaran menyiksa dan menarungkan para budak dengan binatang adalah cermin budaya “menikmati penderitaan orang lain”. Hal ini yang hingga kini dilestarikan di dunia hiburan Barat seperti Hollywood yang dikuasai Yahudi.

Kembali ke panjat pinang, memang tidak sekejam tontonan era Romawi. Para peserta haya berlumuran oli, tak berlumuran darah seperti para budak yang diterkam singa atau di sabet pedang lawannya. Tapi unsurnya tetap sama: penonton bersuka ria menikmati penderitaan orang lain. Penderitaan menjadi hal lucu yang ditertawakan.

Melihat antusias Pribumi memanjat batang pinang, penjajah Belanda pun semakin meyakini superioritas mereka. Devide et impera, dipecah belah kemudian dijajah, berlanjut dengan mengibuli pribumi dengan de pandjat pinang, pribumi miskin disatukan untuk saling injak berebut hadiah murah.

Sayang, sejarah memilukan ini tak pernah dikenal(atau dilupakan) oleh kaum pribumi negri ini. Semboyan jahiliyah “tradisi ini kami lakukan karena turun temurun dilakukan oleh bapak-bapak kami” agaknya lebih kuat melekat dari pada kesadaran akan harga diri dan kehormatan.

Maka, setiap tahun, tradisi panjat pinang terus berlangsung. Inilahwarisan penjajahan dibawah alam bawah sadar yang diwariskan secara turun temurun. Karakter ini agaknya yang membuat Belanda, negri seupil yang kebanjiran jika bendungan penahan air lautnya jebol, bisa menjajah negri ini 350 tahun. Bukan sepenuhnya salah Belanda, memang ada orang-orang yang menikmati dijajah.)*(Togar)
Sumber majalah an najah edisi 83

Tidak ada komentar:

Posting Komentar